“Bahagia itu datang pada waktu yang tepat. Tidak terlambat dan juga tidak terlalu cepat,”
-oOo-
“Dek Koas, anterin pasien ini ke ruang rontgen ya,”
“Siap, Dok,” kata Athar lengkap dengan senyumnya—sebuah pencitraan. “Mari, Bu,”
Hal yang lumrah baginya kalau ada pasien yang bisik-bisik tentangnya, apalagi kalau sudah di Bangsal—saat mem-follow up pasien. Ada yang curi-curi pandang, bahkan ada yang terang-terangan memberikan kedipan mata. Astaghfirullah, jadi orang ganteng tidak selamanya mengenakkan. Meskipun Athar sangat bisa melakukan stay cool, tapi kalau terus-terusan diperhatikan dengan mata wanita-wanita yang naksir dia seperti ini, Athar mana tahan. Ia juga bisa gugup. Untung saja, ia dikaruniai wajah datar begini—tidak terlalu sulit meng-cover kegugupannya. Ah, satu lagi. Berhubung seorang koas juga harus memberikan kenyamanan pada seorang pasien, mau tidak mau Athar tidak diperbolehkan untuk irit senyum. Tentunya senyumannya itu seperti lampu hijau bagi ‘mereka’.
Padahal baru beberapa minggu, tapi ia sudah menemukan sebuah kenikmatan yang hakiki di rumah sakit. Haha, iya, ia sering mendapatkan makanan dari keluarga pasien. Meskipun tidak setiap hari, tapi lumayan lah, daripada tidak dapat sama sekali. Ya, nyatanya kehidupan koas tidak selalu indah dan tidak selalu lancar. Atau memang tak pernah indah dan tak pernah lancar? Hah. Ruangan koas yang tidak begitu baik sampai-sampai Athar harus meminjam sapu dan tidak boleh lupa membawa tissue basah. Produk hand sanitizer juga merupakan hal yang penting yang harus ada dalam sakunya—mengingat Athar tidak suka kotor dan berantakan. Beberapa temannya menganggapnya ‘sok higenis’, tapi ada beberapa juga yang kagum—apalagi yang cewek. Selain ruangan koas, ada yang membuat Athar mesti elus-elus dada, yaitu konsulen pertamanya yang menuntut segala kesempurnaan darinya. Ah, ada lagi, jam makannya sering terlewat kalau Allura tidak mengingatkan. Satu lagi, ketika Athar sedang ingin membalas chatting dari Istrinya, lalu ada pasien yang meminta ganti infus di saat yang bersamaan, mau tidak mau chatt dari Allura harus diabaikan. Biasanya kalau Athar sudah mengganti infus, tiga yang lainnya menyusul. Ya sudah lah ya.
Setelah mengantar seorang Ibu dan anak gadisnya, Athar berniat untuk langsung ke kamar 13—ruang baca Dokter. Ya, dari hari ini hingga minggu ketiga, Athar harus berada di stase radiologi, atau biasa disebut stase hitam – putih. Ini karena pada stase ini koas harus menerjemahkan foto rontgen, USG atau CT Scan. Tapi kebetulan, di tengah perjalanan ia bertemu Azka yang sedang terburu-buru.
“Thar, Athar!” seru Azka yang kini sudah berada di hadapannya dengan nafas yang terengah-engah.
“Apasih, Ka? Urgent?”
“Iya!” kata Azka sembari menepuk bahu Athar.
“Ya Allah, ada apaan?”
“Itu … gue lupa bawa penlight, lo bawa dua nggak? Gue pinjem satu,”
Yeuh, kutukupret. Athar mendecakkan lidahnya. “Yailah, kirain gue apaan,”
“Lo punya nggak? Duh kalo ketawan konsulen mampus gue. Bisa-bisa dia bilang bahwa gue tidak professional, tidak niat, haduh, padahal nyuri waktu buat nyemil aja susahnya minta ampun. Macem tinggal di rock bottom gue,”
“Apaan sih, Ka? Lo ngomong apa?”
Azka menangkupkan kedua tangannya di depan wajah Athar. “Wahai sang dermawan Athar, sudi kah kau meminjamkanku sebuah penlight?” selain pintar berpuitis, Azka juga pinta mendramatisir. Terkadang Athar berpikir, Azka mengambil Kedokteran apa tidak ‘halu’ ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Struggle and Love On ✔
Aléatoire[SELESAI] Ini cerita tentang Allura yang terus berdiri melanjutkan hidupnya di atas garis luka yang sejujurnya sudah tak tertampung lagi. Juga ... Athar yang dunianya sudah tidak setenang dulu--sebelum semesta mempertemukannya dengan Allura. ... N...