[R E V I S I]
“Katamu, kamu tak akan ada di belakangku,”
-oOo-
Sore ini, Allura mengajak Mamanya pergi ke supermarket untuk membeli barang-barang yang akan ia bawa esok hari. Awalnya, Mama menolak dan menyuruh Allura untuk pergi sendiri. Namun, Allura terus merengek dan memaksa Mamanya agar menemaninya belanja. Akhirnya, Mamanya pun luluh dan menuruti permintaan Allura.
Meskipun begitu, Allura masih merasa kecewa. Sudah setengah perjalanan dan tidak ada topik obrolan di antara mereka. Allura tidak suka mengunci mulutnya ketika ia sedang bersama orang lain. Ia ingin membuka sebuah obrolan, namun Mama sibuk bertelepon dengan seorang lelaki yang pernah ia lihat di rumahnya. Sosok lelaki yang mengambil hati Mama di saat Mamanya sedang terluka. Sosok lelaki yang akan mengobati luka di hati Mamanya? Mungkin. Tapi Allura tidak yakin.
“Apa? Hahaha,” Mamanya tertawa dan bersenda gurau dengan lelaki itu via telepon. Padahal seharusnya Mama tertawa dan bersenda gurau dengan Allura.
“Ih, bukan gitu, Mas. Jadi gini, kan kemarin pas aku masih di toko, kamu keluar ngangkat telepon, terus Mbak-Mbaknya bilang kalo baju yang kamu pilihin cocok banget di aku,” Mamanya mengobrol dengan lelaki itu via telepon. Padahal seharusnya Mama mengobrol bersama Allura.
“Emang kenapa? Kamu udah makan? … oh, besok aku jenguk kamu deh kalo ada waktu luang,” Mama memerhatikan lelaki itu. Padahal seharusnya Mama memerhatikan Allura.
Allura tidak pernah meminta barang-barang dari brand Gucci, Prive atau pun Supreme. Apalagi jam tangan Rolex. Yang Allura minta hanya sosok orang tuanya—atau setidaknya salah satu dari mereka yang tetap berada di sisi Allura. Yang menyayangi dan mencintai Allura sepenuh hati. Yang selalu menyemangati Allura ketika ia sedang terjatuh. Yang selalu setia mendengarkan cerita-ceritanya sebagai anak remaja.
Bahkan hatinya semakin hancur ketika Mama mengatakan bahwa hatinya sudah terpaut pada seorang lelaki. Pun juga Papanya. Dengar-dengar, Papanya juga memiliki wanita simpanan yang bekerja satu kantor dengannya. Bedanya, Mamanya terang-terangan selingkuh sementara Papanya masih sembunyi-sembunyi. Allura hanya bisa diam dan diam. Ia bahkan tak tahu harus melangkahkan kakinya ke mana. Tempat yang dituju saja tidak punya, bagaimana bisa ia mengambil langkah selanjutnya.
Jika ada yang bertanya mengapa Allura tidak tegas menentang perselingkuhan dan niat untuk bercerai pada orang tuanya, maka Allura akan menjawab bahwa itu karena Mamanya. Ya, Allura tahu Mamanya memiliki penyakit keras yang kapan saja dan di mana saja bisa kambuh. Terlebih kalau Mamanya sedang stress, kelelahan dan perasaan kacau lainnya. Allura tahu itu, makanya Allura tidak ingin menyiksa Mamanya dalam stress yang berkelanjutan. Ia tidak ingin memaksa Mamanya untuk melanjutkan rumah tangga mereka. Karena yang terpenting, Mamanya bisa sehat dan hidup bahagia. Ya, meskipun sebenarnya ia melukai hatinya sendiri.
Allura tidak pernah macam-macam. Ia tidak ingin menambah beban pikiran Mamanya. Sebisa mungkin, Allura akan menjadi anak yang terbaik untuk orang tuanya. Khususnya Mamanya. Karena ia pun tahu Mamanya sedang berusaha memberika yang terbaik untuknya. Tapi ada satu hal yang Allura tidak sukai. Mama selalu menyediakan uang di belakang Allura, padahal yang Allura butuhkan bukan harta atau uang itu, melainkan sosok Mamanya sendiri.
“Ma?” Allura berjalan sambil mendorong trolley di belakang Mamanya. “Udah teleponannya?”
Mama mengangguk dan mematikan layar ponselnya. “Udah. Kenapa?”
“Allura sama Rayhan kapan bisa tenang tanpa ada ribut-ribut di rumah?”
Mama terdiam sejenak kemudian menghampiri Allura dan mengusap rambutnya. “Sabar ya, sayang. Secepatnya Mama janji bakal ngembaliin kebahagiaan kamu. Mama janji bakal ngembaliin keluarga yang harmonis demi kamu dan Adikmu,”
KAMU SEDANG MEMBACA
Struggle and Love On ✔
Casuale[SELESAI] Ini cerita tentang Allura yang terus berdiri melanjutkan hidupnya di atas garis luka yang sejujurnya sudah tak tertampung lagi. Juga ... Athar yang dunianya sudah tidak setenang dulu--sebelum semesta mempertemukannya dengan Allura. ... N...