Chapter 17 : Dreaming

2.2K 125 5
                                    

“Seindah apapun sebuah mimpi, tetap saja itu bunga tidurmu, bukan kehidupan nyatamu.”

-oOo-

“Ra, tau nggak, doa pada Allah itu kekuatannya melebihi apa pun. Allah nggak pernah bosen mengampuni dosa-dosa hambaNya. Yang ada kita yang bosen minta ampunan sama Allah. Jangan putus asa, Ra. Minta sama Allah apa pun yang lo inginkan,”

Allura tertegun. Ia masih duduk di sofa ruang tamu dengan telepon yang masih berada di telinganya.

“Perbaiki salat lo, maka Allah akan memperbaiki hidup lo,”

02.00

     Allura terbangun karena suara alarm yang begitu keras menusuk gendang telinganya. Ia membuka selimutnya dan berjalan untuk menyalakan lampu kamarnya. Dilihatnya masih jam dua pagi. Mengingat apa yang dikatakan Sania kemarin siang—lewat telepon—Allura beranjak menuju kamar mandi untuk berwudhu. Ya, Allura menginginkan perbaikan dalam hidupnya. Ia ingin memperbaiki diri dan hidupnya. Ia tak ingin tenggelam lebih jauh lagi.

     Begitu Allura melewati kamar orang tuanya, ia berhenti sejenak. Pintu kamar itu sedikit terbuka. Ia mengintip, namun tak ada siapa-siapa di sana. Tak ada orang yang mengisi kamar tersebut. Kemana Papanya? Tidak pulang lagi?

     Allura terduduk di kasur milik orang tuanya. Kasur yang pernah dijadikan tempat kumpul keluarga kecilnya hanya untuk sharing cerita bersama dan tertawa lalu berpelukan bersama. Allura merindukan itu. Sangat merindukan hal tersebut. Ia memandang keseliling kamar. Berharap Mamanya datang dan tersenyum lalu memeluknya. Namun sayang, hal itu hanya ada dalam imajinasi Allura yang tak akan pernah menjadi kenyataan.

     Allura menangis—lagi. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Rasanya sakit sekali ditinggal seorang Ibu dalam penderitaan yang cukup menyiksanya. Apalagi ini adalah masa-masa yang seharusnya menjadi masa-masa terbaik sebelum beranjak dewasa. Namun takdir adalah takdir. Allura tak memiliki kekuasaan untuk mengubahnya. Bahkan satu scene dalam hidupnya pun, Allura tak bisa mengubahnya.

     Tahukah mereka? Allura tak suka sendirian. Allura ketakutan. Dalam keadaan terpaksa, ia hanya perlu mengingat-ingat Tuhannya agar tak merasa takut karena Papanya hari ini tak pulang—lagi. Kemudian ia mengambil air wudhu dan menggelar sajadah di kamarnya. Ya, Allura tak berani salat di luar kamarnya.

    Meski terasa sunyi dan sepi—bahkan hanya suara AC yang terdengar—Allura tetap menjalankan salat tahajud. Ia terlihat begitu khusyuk. Ia juga teringat perkataannya Nadine beberapa hari lalu bahwa ketika kita rukuk dan sujud, dosa-dosa kita akan berjatuhan. Itu sebabnya mengapa Allura menangis di saat rukuk dan sujud. Allura menyadari kesalahannya. Sedikit demi sedikit, hatinya mengikhlaskan apa pun yang terjadi dalam hidupnya. Ia tersadar bahwa selama ini ia sering melanggar perintah Allah termasuk salat. Sekalinya salat, Allura salat pada penghujung waktu. Ya … setelah dia mementingkan urusan duniawinya.

     Allura juga mengingat perkataan Nadine bahwa Allah memberikan ujian kepada hidup kita, kemungkinan ada tiga alasannya. Salah satunya untuk menghapus dosa. Jangan-jangan, selama ini Allura lupa akan dosa-dosanya dan tak pernah meminta ampunan pada Allah, sehingga Allah menimpakan ujian ini kepada Allura untuk menghapus dosa-dosanya. Ya, sepertinya begitu. Setidaknya Allura sadar sebelum Allah memberikan azab padanya. Dan tambah deras lah air matanya yang mengalir mengingat Allah yang sangat baik padanya.

     Begitu selesai salat, Allura memanjatkan doa dengan sungguh-sungguh pada TuhanNya. Air matanya bahkan belum berehenti-berhenti juga. Ia meminta agar Allah menguatkan hati dan dirinya untuk menghadapi berbagai macam permasalahan dalam hidupnya. Ia juga meminta untuk menyadarkan Papanya dan memperbaiki hidupnya yang sudah hancur begini. Dan Allura melakukan ibadah yang lebih rajin juga maksimal dari hari ke hari selanjutnya.

Struggle and Love On ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang