Olivia memandangi wajahnya di cermin pagi itu. Setiap kali memikirkan ciuman yang didaratkannya ke wajah Lennon kemarin, wajah Olivia pasti memerah. Olivia mengikat rambutnya menjadi ekor kuda tidak terlalu tinggi dan menatap lagi wajahnya. Merasa tidak puas, Olivia membuka lagi ikatannya dan memilih menggerai rambutnya.
Setelah mendesah pelan, Olivia memilih keluar dari kamar. Ia sudah bertekad membuatkan sarapan untuk Lennon. Luka di pinggangnya sudah mulai mengering. Luka kecil yang seharusnya tidak membuat Lennon begitu khawatir. Tubuh Olivia seketika bergetar saat membayangkan tatapan lekat Lennon atau kerutan khawatir di wajahnya kemarin. Olivia dengan cepat keluar dari kamarnya dan berjalan menuju ke dapur.
Saat berada di pintu dapur, Olivia mendapati Lennon sedang memasak di depan kompor. Olivia merasakan jantungnya berdebar kencang lagi saat menatap punggung lebar Lennon yang memunggunginya. Olivia tersenyum kecil, melipat tangannya di dada dan bersandar di dinding, memilih menikmati pemandangan indah di depannya. Tubuh tegap Lennon terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jangan menyalahkan Olivia. Ia wanita normal dan Lennon jelas sangat tampan.
Dalam balutan jeans longgar yang warnanya sedikit memudar, Lennon terlihat menawan. Bokongnya terlihat kencang, pahanya padat. Pandangan Olivia naik lagi ke pinggang Lennon yang ramping dan naik lagi ke punggungnya yang berotot dan bahunya yang bidang. Kaus hitam yang dipakainya melekat sempurna di tubuhnya.
Olivia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengatur napasnya yang tiba-tiba sesak.
Tiba-tiba, Lennon berbalik dan pandangan mereka bertemu. Olivia merasakan pipinya memerah karena tertangkap lagi tengah memandangi Lennon.
"Kau baik-baik saja?" Lennon menatap khawatir, sepertinya tidak memperhatikan wajah merah Olivia. "Bagaimana lukamu, apa masih sakit?"
Olivia menjauh dari dinding dan berjalan mendekati Lennon, bersyukur Lennon bersikap biasa saja padanya pagi ini. "Sudah mengering dan aku merasa sangat baik hari ini."
Lennon menatap Olivia lagi, meneliti penampilannya sebelum akhirnya ia mengangguk. "Duduklah, aku sudah membuat sarapan."
"Kau tidak perlu repot, Lennon. Biar aku saja yang memasak."
"Terlambat." Lennon menaruh dua buah piring di atas meja makan. "Seharusnya kau bangun lebih pagi lagi jika memang berniat memasak. Aku sudah membuatkanmu telur dadar."
Olivia yang sudah duduk di kursi menatap ragu ke arah dua buah telur dadar dan dua buah sosis goreng di atas piring.
"Apa ada masalah?" Lennon mengernyitkan dahinya melihat Olivia menatap ke arah piring tanpa minat. "Apa kau sakit?"
Dengan cepat Olivia menggeleng. "Tidak. Hanya saja... aku tidak suka telur dadar, aku suka telur mata sapi."
"Aku rasa, kau tidak punya banyak pilihan." Lennon duduk juga di depan Olivia dan menatap gadis itu lekat. "Cobalah, kau pasti akan suka nantinya. Banyak orang yang menyukai telur dadar."
Olivia meraih sendoknya, memotong sedikit telur dadar buatan Lennon dan memakannya. "Rasanya ternyata enak."
"Aku menambahkan tuna kalengan ke dalamnya. Nikmatilah sarapanmu, karena nanti siang aku akan mengajakmu memancing di sungai."
Olivia dengan segera menghentikan makannya dan menatap Lennon dengan raut wajah penasaran. "Memancing di sungai?"
"Ya. Kau terlihat terkejut." Lennon menaikkan sebelah alisnya.
Olivia tersenyum lebar. "Lennon, kau tidak tahu betapa senangnya aku akan melihat hal lain selain pohon besar dan rumah ini."
Lennon tersenyum sedikit. Hanya sedikit. "Kalau begitu, cepat habiskan sarapanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
HER Bodyguard [Selesai]
RomanceSejak Papanya mendapatkan surat ancaman dari seseorang yang berniat menculiknya, hidup Olivia yang semula memang dijaga ketat, menjadi lebih ketat lagi. Ia tidak bisa meninggalkan rumah sembarangan, tidak bisa lagi pergi kemanapun yang ia mau tanpa...