17

12.1K 738 22
                                    

Saat mobil jip yang dikendarai Lennon berbelok memasuki jalanan rumah Olivia, gadis itu merasakan matanya memanas, air mata mulai menumpuk dipelupuk matanya, menunggunya mengerjap maka butiran panas itu akan jatuh meluncur di pipinya.

Sejak pagi tadi Lennon mulai berubah. Tatapan matanya tidak lagi lembut. Wajahnya selalu tanpa ekspresi dan tubuhnya kaku. Ia menjelma menjadi pengawal pribadi yang baik sekaligus Olivia benci. Ia benci sikap menjaga jarak yang ditunjukkan oleh Lennon. Ia mulai merindukan Lennon yang menghabiskan waktu dengannya di pondok. Bukan seorang pengawal berwajah datar dan tanpa senyum.

Saat mesin mobil berhenti tepat di depan gerbang besar rumah Papanya, Olivia menyerah dan akhirnya mengerjapkan matanya, membiarkan butiran air mata jatuh di pipinya.

Olivia membiarkan Lennon turun dan mengitari mobil untuk membukakannya pintu. Ia tetap diam saat Lennon membuka lebar pintu mobil dan membiarkannya turun. Wangi samar tubuh Lennon membuat Olivia dicekam rada sedih. Ia akan merindukan Lennon. Teramat sangat.

Ia menatap Lennon yang sedang sibuk menurunkan koper miliknya dan juga laptop milik Lennon yang diberikannya untuk Olivia.

"Di dalam laptop ini kau menulis novel tentang diriku," ucap Lennon pagi tadi sebelum mereka berangkat. "Jadi, aku ingin memberikan laptop ini untukmu."

Olivia menatap Lennon yang kini sudah berdiri di depannya. Ia menarik napas dalam-dalam sembari merekam wajah tampan Lennon dalam ingatannya.

"Lennon..."

"Pergilah," suara Lennon terdengar tajam. "Sekarang juga."

Suara pintu gerbang yang terbuka secara otomatis membuat Olivia menoleh. Ia tahu inilah saatnya. Saat untuk terakhir kalinya ia bisa berada dekat dengan Lennon. Saat dimana ia masih bisa menatap dari dekat kerutan dalam di kening lelaki itu.

"Aku mengantarkanmu sampai disini, Olivia. Papamu akan menjemputmu sebentar lagi. Dia sedang berjalan menuju kemari."

"Apa kau tidak mau mengubah pikiranmu, aku menci..."

Lennon mengangkat tangannya, mencegah Olivia bicara. "Masuklah ke dalam."

"Kenapa kau begitu keras kepala? Mau sampai kapan kau baru akan mengakui perasaanmu?" Olivia berteriak marah sembari menusuk dada Lennon dengan jari telunjuknya. "Kau mencintaiku, Lennon. Aku tahu itu, terlihat jelas di matamu. Kenapa sulit untukmu mengakuinya?"

Lennon mengembuskan napas pelan. "Kita sudah sering membahas hal ini. Masuklah Olivia."

"Tidak!"

"Masuk!"

"Aku tidak mau!" Olivia berteriak lagi. "Aku ingin bersamamu."

Olivia dengan berani menarik tubuh tinggi besar Lennon hingga mendekat di tubuhnya. Olivia berjinjit, mendekatkan wajahnya ke wajah Lennon. Dengan penuh rasa frustasi, kesal dan marah, ia mendekatkan wajahnya dan mencium Lennon.

Ciuman penuh kemarahan Olivia itu membuat Lennon menggeram keras dan semakin merapatkan tubuh gadis itu. Ia memperdalam ciuman mereka, membawa kedua tangannya untuk memegangi kepala gadis itu. Lennon menikmati kelembutan tubuh Olivia, debar jantungnya yang seirama dengan miliknya. Lidah Lennon bergerak menyelip diantara dua baris gigi Olivia, bergerak masuk untuk mereguk manisnya rasa gadis itu. Untuk terakhir kalinya.

Mereka terus berbagi ciuman dalam kemarahan hingga akhirnya Lennon menjauhkan dirinya dan meletakkan dagunya di puncak kepala Olivia. Dengan napas tersengal.

Apapun yang akan terjadi nantinya, Olivia tidak pernah menyesali sedikitpun kebersamaannya dengan Lennon. Ia tidak pernah menyesali setiap pelukan, setiap ciuman dan setiap tatapan yang ia bagi dengan Lennon. Ketika emosinya mulai naik kepermukaan, Olivia memejamkan lagi matanya. Bagaimana mungkin ia bisa mengucapkan salam perpisahan?

HER Bodyguard [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang