Suara ketukan pelan terdengar di pintu kamar Olivia esok harinya. Sudah dua jam ia bangun. Saat menatap ke luar jendela kamar ia melihat jika matahari sudah mulai tinggi. Sinar terangnya bahkan mampu menerobos celah-celah jendela kamar yang tertutup tirai.
Olivia sedang tidak ingin melihat ke arah jam digital di atas nakas di sampingnya. Ia ingin sekali bisa membekukan waktu, tapi hal itu sungguh tidak mungkin. Olivia membenarkan letak selimut di sekitar pinggangnya saat pintu kamarnya mulai terbuka.
"Papamu mengatakan kau ada di kamar dan belum keluar juga sejak tadi." Yara menyerbu masuk, meletakkkan begitu saja tas selempangnya di atas ranjang dan dia duduk di samping Olivia, di atas ranjang juga. "Papamu juga bilang kau belum makan sejak pulang kemarin."
Olivia mendesah pelan. Papanya berkali-kali membujuknya untuk makan sejak kemarin bahkan hingga pagi tadi saat papanya membawakan sendiri sarapan untuk Olivia ke kamar. Sejak kemarin Olivia kehilangan selera makannya. Bujukan dari papanya tidak mampu membuatnya berubah pikiran.
"Kau sakit?" Yara meletakkan tangannya di dahi Olivia dengan kening yang berkerut khawatir. "Tapi suhu tubuhmu normal. Bisa kau beritahu aku apa yang terjadi padamu? Bukankah kau seharusnya senang sudah kembali pulang dan papamu melonggarkan pengamanan pada dirimu?""
Olivia menarik napas panjang sekalipun dadanya terasa berat. Kerutan di dahi Yara semakin dalam. Sahabatnya itu terlihat begitu khawatir. Tidak ingin membuat Yara semakin diluputi rasa khawatir, memilin kedua tangannya pelan, Olivia berucap pelan, "aku patah hati."
"Apa?" Sekali lagi, ada kerutan di antara kedua alis Yara. "Aku rasa aku salah dengar, Livi."
"Tidak." Olivia mendesah pelan. "Kau tidak salah dengar. Aku memang sedang patah hati."
Yara menaikkan kedua alisnya dan kemudian dengan tidak sopannya ia tertawa. Tertawa dengan keras hingga matanya terpejam dan ia memegangi ujung ranjang untuk menahan tubuhnya. Sahabat macam apa itu.
"Lucu." Yara mengusap sudut matanya yang berair. "Kau pikir aku akan tertipu dengan leluconmu itu? Tidak, aku mengenalmu, Livi."
"Aku tidak bohong, Yara. Aku benar-benar patah hati. Kau, kau tega sekali mengira aku sedang berpura-pura."
Tetesan air mata yang mengalir di wajah Olivia membuat Yara tertegun dan seketika menghetikan tawanya. Ia memandangi mata berair sahabatnya itu dan menatap lingkaran hitam di bawah matanya, menatap juga tatapan kosong di mata Olivia.
Yara menutup mulutnya dengan satu tangan. Kedua alisnya kembali terangkat. "Ya Yuhan! Kau benar-benar patah hati. Siapa dia, Livi. Aku, aku minta maaf soal tadi."
Olivia hanya mengangguk pelan, menatap kedua tangannya yang masih terpilin satu dengan lainnya. Memikirkan Lennon membuat rasa rindunya terhadap lelaki itu semakin memuncak. Baru satu hari, dan Olivia sudah merindukannya sebesar itu? Bagaimana mungkin ia harus menjalani sisa hari-hari berikutnya?
"Namanya Lennon," Olivia memaksa dirinya untuk bisa berkata, "dia pengawalku yang membawaku ke pondoknya. Yang waktu itu menggagalkan usahaku melarikan diri."
Yara mengeluarkan suara terkejut sembari menutut lagi mulutnya. Ya, Olivia tahu apa yang dipikirkan sahabatnya itu. Pasti dia berpikir bagaimana mungkin Olivia bisa jatuh cinta pada pengawalnya sendiri. Jatuh cinta itu bukan sesuatu yang bisa kita rencanakan. Debaran cepat di dada dan desiran aneh di dalam hati juga bukan sesuatu yang bisa dibuat-buat untuk terjadi.
Ia jatuh cinta pada Lennon karena memang hatinya yang memutuskan. Bukan otak dan pikiran warasnya.
"Jangan ceramahi aku, Yara."
Yara menggeleng, mendesah pelan dan meraih satu tangan Olivia. "Tidak. Aku hanya terkejut ternyata kau bisa jatuh cinta juga. Kau tahu kan, aku sudah lama sekali ingin tahu lelaki seperti apa yang bisa meruntuhkan hatimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
HER Bodyguard [Selesai]
RomanceSejak Papanya mendapatkan surat ancaman dari seseorang yang berniat menculiknya, hidup Olivia yang semula memang dijaga ketat, menjadi lebih ketat lagi. Ia tidak bisa meninggalkan rumah sembarangan, tidak bisa lagi pergi kemanapun yang ia mau tanpa...