Bab 30

61 6 2
                                    

Velandra Victoria POV


Jujur, kepalaku pusing.

Sepertinya, sejak kesialan—atau kecelakaan—yang membuat aku menjadi gegar otak ini membuat sifat dinginku agak berkurang. Sebaliknya, aku malah mudah shock. Terserah kalian mau anggap aku parnoan atau apa. Tapi yang jelas, belakangan ini aku menjadi Vela yang "kagetan". Bukan Vela yang "dingin".

Kurasa, kalau aku masuk ke sekolah, gelar yang akan kudapat adalah "Ratu Kagetan".

Atau mungkin, "Ratu yang Botak".

Yah, kini kepalaku tidak ada rambut sama sekali karena harus menjalani operasi ini-itu dan membuat rambutku harus dipotong.

Terserah, aku tidak peduli dengan itu semua.

Oh iya, omong-omong, adikku dan Kirana tidak ikut ke kios ini. Katanya sih, mereka ada urusan yang lebih penting daripada ini. 

Kembali ke topik: kepalaku pusing.

Makin lama, kepalaku ini rasanya makin diremas-remas saja. Lama-lama, aku bisa gila karena kepalaku ini benar-benar sakit. Lebih baik sekali tonjok, masuk rumah sakit, dan sembuh daripada dijambak, terus jatuh, gegar otak, dan kepalanya bagaikan diremas-remas.

Aku ingin menjerit, tapi hal itu akan membuat harga diriku runtuh, bukan jatuh lagi.

Kembali ke topik yang benar-benar topik (yang tadi itu, bukan benar-benar topik untuk saat ini): muka Cindy berdarah-darah.

Aku tidak berlebihan jika mengatakan Cindy itu berdarah-darah. Aku serius. Karena kini, aku bisa melihat semua mulut ternganga melihat kondisi Cindy yang benar-benar mengenaskan.

"Gue...ga apa-apa," kata Cindy seolah-olah berusaha untuk menghibur kami semua sambil tersenyum. Tapi hal itu membuat tampangnya menjadi lebih mengerikan lagi. Belum lagi, daging pada wajahnya kini mulai keluar karena dia tersenyum. "Hajar..aja si..."

"Eits, main hajar aja lo," kata cowok itu sambil tertawa sinis.

Aku mengeraskan rahangku. "Belum cukup ditusuk ya?" tanyaku berusaha menahan emosi yang mulai menjalar di hatiku.

"Sepertinya, dia emang nyari mati, La," timpal Nita, si Ratu Kepo dan Gosip.

Aku mengepalkan tanganku ketika sebilah pisau mulai mendekati leher Cindy.

"Please...jangan bunuh...gue," kata Cindy lemah dengan memohon.

"Di saat-saat begini, lo masih bisa memohon?" tanya Devon sinis. "Otak lo bagus, tapi mental lo lemah banget!"

"Mana Sera?"

Pertanyaan tidak terduga itu ternyata keluar dari mulut si Penilik. Si Penilik hanya tersenyum sinis ketika Devon menatapnya balik.

"Bukannya tadi, lo bilang kalo Sera itu ga penting..."

"Shut up," kata Kila enteng pada Nita. "Itu tadi. Sekarang, mendadak penting nih." Kila beralih pada Devon. "Mana sodara lo yang sama bejatnya sama lo?"

Mata Devon berkilat marah. "Gue ga bejat..."

"Tapi tingkah laku lo menunjukkan sebaliknya," kata Kila datar.

Ya Tuhan, jangan pancing emosi Devon. Tolong! Nyawa Cindy berada di ujung tanduk nih!

Lah, kenapa aku jadi suka memohon seperti Cindy ya?

{#MGF2} My Girl Friend is Psycho--CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang