Bab 21

68 7 0
                                    

budayakan vote sebelum membaca

bagi yang jadi author, mungkin tau rasanya kalo karyanya cuma dibaca tanpa di vote :)


Frankie Devanda POV

Aku tidak mengerti apa yang terjadi pada diriku dan Cindy.

Kupikir, kami pergi dengan damai, bersama Devon, dari kafe yang makanannya enak itu hingga ke...aku tidak tau. Ke mana Devon akan menurunkan kami? Yah, intinya sih, kupikir, kami pergi dengan selamat dan damai.

Sialnya itu hanya dalam pikiranku.

Nyatanya, sebelum kami pergi, mulut kami dilakban oleh si Devon keparat itu. Kedua tangan kami diikat oleh tali dan kedua mata kami ditutup dengan sepotong kain kotor dan jelek (juga bau).

Ah, sial. Nafasku jadi sesak!

Aku tidak bisa melihat keadaan Cindy bagaimana saat ini. Karena keadaanku sendiri pun sudah terlalu kacau dan tidak bisa memikirkan apapun selain: ke mana Devon akan membawa kami?

Ketika sudah sampai (kurasa begitu), aku (dan Cindy, sepertinya) didorong-dorong masuk, entah ke mana. Sial, kenapa harus ada penutup mata seperti ini segala sih?! Aku kan jadi tidak tau ini ada di mana!

"Maju, goblok! Jangan diem!" bentak Devon ganas.

Aku tidak bisa berkata apa-apa selain mengikuti perintahnya—yang sialan—itu. Aku berjalan terus—dan berharap tidak jatuh atau tersandung—hingga akhirnya kami disuruh naik tangga. Untungnya, ketika naik tangga, Devon memberi arahan padaku dan Cindy agar bisa berjalan dengan benar.

Cukup lelah, karena sepertinya kami berada di lantai tiga, saat ini.

Belum sempat penutup mata ini dibuka (sialan! Ini bau banget! Asli!), tiba-tiba saja aku mendengar sebuah suara yang sama sekali tidak ingin kudengar lagi sampai aku mati (sialnya, tidak terkabul).

"Hai, Cindy Margaretha! Oh, dan hai, Frankie Devanda! Rasanya udah bertahun-tahun ga ketemu ya!"

Oh, sial. Suara ini. Suara si...

Penutup mataku segera dibuka dan lakban di mulutku ditarik secara paksa dan kasar—dan asli, itu sakit pake banget! Sumpah! Aku tidak berbohong!—tapi tali pada tanganku masih belum dilepas.

"R-Ria?" tanya Cindy tidak percaya.

Ria tersenyum dingin pada kami. "Ya, ini gue. Mau ketemu sama gue, kan?" tanya Ria enteng.

Aku menelan ludahku. Begini ya, bukannya aku seorang pengecut yang takut pada seorang cewek. Tapi masalahnya, Ria ini bukan cewek biasa. Semua benda yang ada di dekatnya bisa berubah menjadi bahaya bila kita salah mengucapakan kata-kata untuknya.

Dulu, waktu kami bermasalah dengan anak ini, katanya Vela nyaris ditusuk pakai pensil di rumah sakit ketika mantan pacarnya—alias kakaknya Alex—dirawat di rumah sakit karena dihajar oleh Vela dan Alex.

"Lama ga ketemu ya," kataku akhirnya. Habisnya, aku tidak tau harus berkata apa lagi!

Ria tersenyum dan menghampiriku. "Iya. Lama ga ketemu. Sejujurnya, gue kangen sama bos lo itu...yang pernah jadi pacar gue!"

Pacar?! What the hell?! Anjir! Gila! Alex ga pernah pacaran sama siapapun kecuali sama Vela, man!

Cewek ini benar-benar terobsesi dengan Alex.

{#MGF2} My Girl Friend is Psycho--CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang