09. Masih Ada yang Perhatian Padamu, Bae...

318 67 12
                                    


"Kau yakin bisa mengobati luka itu sendiri?"

Guanlin ikut meringis khawatir melihat Jinyoung yang mengobati luka dengan tangannya sendiri. Memolesi luka dengan kapas yang sudah ditetesi obat merah dengan susah payah.


Disinilah mereka berdua. Duduk di ruang tengah super luas milik keluarga Lai. Ruang tengah yang dilengkapi dengan perabotnya yang tidak bisa disebut biasa-biasa saja. Mulai dari sofa italy jenis natuzzi avana yang mereka duduki, karpet halus berwarna senada, juga televisi jumbo dan perabotan lain yang mewah dan terkini.

Namun sayang, suasananya sedikit sepi, karena hanya ada mereka berdua dan beberapa pelayan memasak atau kebersihan yang sibuk dengan pekerjaannya.



"Hei, Bae! Perlu bantuan?" Guanlin sedikit meninggikan suaranya karena terlalu gemas. Teman yang ada di hadapannya itu keras kepala sekali.
Apa salahnya jika Lai Guanlin membantunya mengobati luka-luka mengerikan itu?

Jinyoung tetap diam saja. Masih asyik--yang ekhm, sebenarnya tidak asyik juga--pada aktivitasnya. Hingga tiba-tiba kapas yang ada di genggamannya jatuh ke lantai begitu saja. Atau lebih tepatnya ia biarkan terjatuh, mungkin.




"hiks"


Eh?


"Aku muak, Lin..."

Suara itu terdengar samar sekali. Jinyoung menyeka air mata yang sudah benar-benar berada di ujung kiri netranya. Gagal membuat air mata itu terjun bebas.

"...apa yang akan kedua kakakku rasakan jika tahu bahwa adik laki-lakinya ini adalah korban bully di sekolah?"
Jinyoung menjeda kalimatnya. Mengambil nafas panjang dan menghembuskannya dengan cepat.

"Aku lelah berbohong pada mereka tentang luka-luka ini." Jinyoung menyeka air matanya yang entah sejak kapan, sudah semakin mengalir deras; sulit dihentikan pula.




Uh. Guanlin sedikit banyak terkejut. Pemandangan di hadapannya ini--Jinyoung yang menangis--tidak pernah ia dapati sebelumnya. Guanlin sama sekali belum pernah melihat Bae Jinyoung menangis. Setidaknya sampai beberapa detik yang lalu.

Dan bolehkah Guanlin jujur bahwa sekarang ia bingung? Ia belum pernah melihat seseorang-siapapun-menangis di depannya secara langsung. Ah, apa yang harus pemuda Lai lakukan?




"Kau tahu, Bae? Kau adalah orang yang kuat dan juga baik. Kau kuat karena mampu menahan ini sendirian. Dan kau baik karena memikirkan perasaan kakakmu."

Rentetan kalimat terbijak yang pernah Guanlin bobrok ucapkan.


"Tapi aku muak, takut, dan khawatir di waktu yang bersamaan. Mereka selalu saja mengatai orang tuaku sebagai pembunuh. Padahal kenyataannya mereka tidak tahu apa-apa."


"Kalau begitu, coba katakan kebenarannya. Kebenaran itu di atas segalanya, kawan."

Entah karena apa--mendengar ucapan Guanlin beberapa detik yang lalu--sontak membuat Jinyoung menatap Guanlin dengan cepat.


"Diamlah, Lai. Kau juga sama seperti mereka. Tidak tahu apa yang terjadi tentang orang tuaku...keluargaku." Jinyoung berucap tanpa nada dan tanpa jeda nafas.


"Eh?" Guanlin sedikit terhenyak mendengar jawaban Jinyoung. "Ekhm. Karena itu ceritakanlah padaku. Akan lebih tenang jika membagi kisah manis atau pahitnya dengan seorang teman, kan?"

Pemuda Lai merangkul Jinyoung dari samping. Berusaha menenangkan temannya yang paling dingin, sejujurnya.

Namun sayang, Jinyoung tiada niat untuk membalas perkataan manis Guanlin. Ia kembali mengambil kapas baru dan obat tetes dari kotak P3K untuk mengobati lukanya. Luka fisik; goresan, perih, lebam di wajah dan tangannya. Hingga beberapa saat, sebelum ponsel hitamnya bergetar dan ia mengangkatnya.





"Halo, Jihoon hyung?"


"Ah.. Jinyoung, kau sudah selesai les belum? Jadi menemaniku membeli ponsel baru tidak?"


"Sudah selesai, kok. Tentu saja aku akan menemanimu, hyung.. Sekarang hyung dimana?"


"Aku masih di tempat latihan hapkido sekarang. Tapi lima belas menit lagi, kita bertemu di toko ikan hias depan pasar saja bagaimana?"


"Oke baiklah. Hati-hati, hyung."




Jinyoung tersenyum kecil dan mengakhiri panggilan teleponnya. Entah bagaimana dan mengapa, teman yang setahun lebih tua darinya itu bisa saja membuatnya tersenyum di antara wajah yang dipenuhi memar.

Sementara itu, Guanlin mengerutkan keningnya. Dalam pandangan Guanlin, Jinyoung begitu aneh karena tersenyum di antara rasa sakit.



"Hei! Kau kerasukan apa?"

"H-ha? Siapa?" Jinyoung bertanya dengan polosnya karena memang tidak paham dengan maksud si teman.

"Ah sudahlah." Guanlin beralih untuk mengambil sesuatu dari kotak P3K nya yang lain.

"Ini. Pakai ini. Kau tidak ingin membuat Jihoon khawatirkan?"



Jinyoung tersenyum, "Terima kasih, bro." Sebelum akhirnya memakai masker flu yang diberikan Guanlin padanya.

" Sebelum akhirnya memakai masker flu yang diberikan Guanlin padanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

HEHEHE. Aku tahu kalau kalian mulai bosan :') Tapi ayo bertahan lebih lama lagii ><!

GOING CRAZY •bjy pjh•✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang