39. Hallucinations

2.8K 228 18
                                    

"Kau akan pergi lama? Kemana? Kapan?" tanya Mila kepada Roibeart yang mengajaknya berbincang. Freink mengajarinya cara menikmati anggur tanpa mabuk. Dan disanalah mereka bertiga, duduk di meja bundar di salah satu bar markas Dresden.

Tempat itu seperti tempat yang dipagari oleh dinding, atau lebih tepatnya kota. Tempat itu sangat luas, dan setiap kali Mila berkeliling untuk pergi ke pinggiran dan mencari jalan keluar, hanya ada dinding besi yang kokoh.

Mila memang tahanan, tetapi nampaknya Freink sedikit memberinya kebebasan. Handphonenya masih di tangan, tapi tidak ada akses jaringan sedikitpun.

Ketika Freink tengah sibuk dan meninggalkannya, di saat itulah Mila berusaha mencari jalan keluar. Meskipun di tengah-tengah misinya itu ia berpapasan dengan Mikoto, pria itu seakan tidak peduli akan apa yang Mila lakukan. Atau pria itu tahu, ia tidak akan pernah tahu cara keluar dari sana kecuali ada yang membawanya keluar.

Bahkan tempat itu punya jalanan yang dilalui kendaraan seperti mobil dan motor para anggota. Mila yakin jika sekarang dia ada di kota bawah tanah. Langit-langitnya hanya ada dinding dan lampu yang sepertinya diatur kadar cahayanya sesuai keadaan siang atau malam.

Ketika malam hari lampu akan temaram dan penerangan jalanan dibantu oleh lampu jalanan. Persis seperti di kota, hanya saja tidak ada angin, tidak ada matahari, bulan, bintang, awan, dan gedung-gedungnya saling berhimpitan tanpa celah. Hanya warna yang membedakan satu tempat dengan yang lain.

Tapi Mila tetap bisa bernafas di sana. Udara segar masuk melalui saluran. Sepertinya memang ada yang mengurus hal itu. Tempat tinggal Mila adalah gedung yang sangat besar, terletak di tengah-tengah dan ditinggali anggota utama.

Kembali ke keadaan Mila sekarang, Roibeart mengatakan padanya jika pria itu akan pergi lama. Dan Mila merasa ini kesempatannya.

"Kau akan pergi lama? Kemana? Kapan?"

"Kau peduli padaku? Oh ya ampun, bahkan Lucia hanya mengatakan, 'Ya, pergilah'. Dia tidak peduli sama sekali. Mila, kau manis sekali. Sini peluk." Roibeart merentangkan kedua tangannya.

"Jangan coba-coba," Freink berujar sengit.

"Baiklah-baiklah, Tuan." Roibeart menatap kesal. "Aku akan pergi lama sekali. Sekarang jam dua, aku akan pergi sore ini. Dan kemana aku pergi?" Roibeart meletakkan telunjuk di bibirnya. "It's Secret."

Mila merasa agak kecewa.

"Pulanglah," ujar Freink kepada Mila. "Aku ada urusan."

"Hei, hei," sahut Roibeart. "Kau meninggalkan seorang gadis sendirian."

"Dia tahu jalan pulang." Freink bangkit dan menepuk kepala Mila. "Lagipula aku yakin dia tidak akan bisa kabur dari sini." Lalu pergi.

Mila pulang seorang diri. Carmia ada di tempat tidurnya. Duduk sembari bermain dengan boneka. Gadis itu turun dari kasur ketika Mila datang lalu menghampirinya.

"Aku menunggumu, Mila," ujarnya. "Jangan makan dan minum itu." Carmia menunjuk makanan dan segelas susu di atas nampan yang diletakkan di atas meja. Lucia memang mengirimkannya makanan secara teratur karena semuanya tahu, Mila tidak diizinkan Mikoto untuk makan satu meja bersama mereka. Di jam sarapan, makan siang, dan makan malam. Mungkin ada banyak rahasia yang dibahas di jam makan bersama.

"Kenapa?"

"Demian memberi racun di sana," ujar Carmia santai. "Demian memang suka memberi racun ringan kepada orang-orang yang baru bergabung di gedung ini." -Gedung yang dimaksud adalah gedung yang ditinggali anggota inti Dresden-"Aku dan Lucia pernah menerimanya dan demam selama seminggu."

Mila merasa nyawanya terancam.

"Aku tahu kalau Freink akan cemberut kalau kau sampai mengalaminya. Dan Demian akan dikuliti sampai habis. Kalau sudah begitu, akan repot jadinya." Gadis itu tersenyum.

Mila tertawa kecil. "Ya, akan sangat merepotkan."

***

Aku terjebak dalam masa lalu. Ketika tertidur aku hampir selalu memimpikan itu.

"Kak Luke!"

Aku memanggilnya. Berlari dengan susah payah ke arahnya. Luke adalah temanku, tapi aku menganggapnya sebagai kakak di saat yang sama. Dia dua tahun lebih tua dariku. Dan begitu mengagumkan di mataku.

"Mau pergi lagi?"

"Paman Leon akan mengajariku teknik bela diri kali ini." Luke kala itu berusia 10 tahun. Ia menepuk kepalaku dengan lembut dengan iringan senyuman. "Kau di rumah saja ya."

"Tapi aku ingin ikut!"

Aku menoleh ketika tepukan lembut menyentuh pundakku. Wanita itu ibuku. Ia menggendongku di punggungnya lalu mengajakku bermain. Sekejap perhatianku terhadap Luke berpindah.

Aku ingin terus begini. Semuanya harus bersamaku. Walaupun aku jadi penyiksa sekalipun.

***

Mila berjalan mengikuti Roibeart tanpa diketahui. Pemuda itu semakin lama, pergi ke tempat yang semakin sepi. Jika memang Roibeart akan pergi dari tempat itu, maka Mila harus tahu dimana jalan keluarnya. Ini kesempatannya!

Sudah tak ada lagi bangunan. Semuanya berubah menjadi lorong-lorong bercabang. Seperti saluran udara yang sangat besar. Anehnya angin berhembus di sana, angin yang terasa panas. Seperti karbon dioksida yang mengalir deras. Sepertinya sudah tidak ada lagi oksigen, dan Mila mulai kehabisan nafas. Kalau terus begini, sama saja ia menghirup racun.

Ia berbalik dan meninggalkan tempat itu. Sekilas ia melihat jika Roibeart memakai selang yang terhubung ke tas punggung yang di bawanya. Tabung oksigen.

Kemungkinan tempat itu memang saluran udara, saluran udara yang sangat besar. Dan karbon dioksida mengalir keluar lewat sana. Dan di sanalah jalan keluarnya. Tapi jika ada saluran udara yang membawa karbon dioksida keluar, maka ada saluran yang membawa oksigen masuk. Mungkin saluran itu merupakan salah satu jalan keluar.

Ia terduduk di salah satu teras klub tak jauh dari sana. Suara bising muncul dari dalam. Di sekitar klub itu, banyak bangunan yang tidak terpakai. Bahkan klub ini bentuknya seperti bangunan dalam film koboi. Mila mengintip lewat jendela, isinya lumayan layak.

Beberapa orang bermain bilyar dan kartu. Di antara banyaknya orang yang tak ia kenal wajahnya, Mila yakin akan satu hal. Wajah yang dilihatnya, tak salah lagi. Itu dia!

Mila berlari masuk, mengaggetkan orang-orang di dalamnya. Pria-pria berbadan besar mengerubunginya dalam sekejap. "Apa yang dilakukan gadis manis ini di sini?"

Mila mendorong salah satunya dengan sekuat tenaga, lalu berlari ke arah satu meja.

"Dimana orang itu?!" tanyanya tak sabar. "Pemuda yang tadi duduk di sini. Dimana dia?"

"Mana kutahu," seorang pria negro mencekram lengannya. "Kau mau bermain bersama kami?"

Ini salah. Mila yakin jika ia melihat orang itu di sini. Tidak mungkin jika ia berhalusinasi, tidak mungkin jika ia mulai menjadi gila. Terjebak di sini, bersama penjahat, ia sangat takut. Ia menangis sembari meronta-ronta.

"Lepaskan dia," suara datar nan dingin menarik perhatian mereka. Pria negro yang mencekram tangan Mila tiba-tiba terkejut dan terduduk. "Bagaimana bisa kalian membuatnya menangis?"

Freink berjalan masuk dengan langkah pelan yang teratur. Orang-orang itu tidak berani menatap.

"Satu-satunya orang yang boleh membuatnya menangis hanya aku. Camkan itu," ia berujar dingin. Freink mendekati Mila yang masih bergetar. Ia melepaskan jasnya lalu menyelimuti gadis itu. Freink mengusap pipinya yang basah, mengangkat wajahnya hingga keduanya saling menatap. Freink tersenyum. "Ayo pulang."


***


Ya, jadi daku mau mengklarifikasi yang kemarin. MPB emang mau dibuat alur yang hampir 70% diubah. Tapi yang ini tetap begini, akan saya selesaikan sampai habis.

Ingat jika saya pernah menuliskan, "MPB punya alur cerita yang kebagi dua. Bahkan endingnya juga kebagi dua." ?


Love Author To All..

22 July 2018.


My Psychopath BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang