#Happy Reading All...
***
"Dua mayat di temukan di sekitar danau. Satu mayat nampak tak jelas bentuknya dan satu lagi dalam keadaan utuh namun terdapat bekas luka tembakan di dada sebelah kiri. Luka itu juga di miliki mayat yang satunya. Polisi telah menemukan sidik jari pelaku dan sedang mengidentifikasi pelaku dengan sidik jari yang tertinggal."
Suara televisi terdengar jelas dari ruang tamu. Membuat telinga yang mendengarnya menjadi memanas. Serentak ia matikan televisi itu dengan kasar. Ia menelungkup wajahnya, pikirannya tengah berkecamuk sekarang ini. Beberapa waktu yang lalu, berita buruk menghampiri kediamannya. Adik kesayangannya yang baru saja berulang tahun ditemukan tewas bersamaan dengan jasad wanita yang mengenaskan. Dan buruknya lagi, polisi membawa Ibunya sebagai tersangka. Itu mustahil baginya, ia tahu persis bahwa Ibunya lebih menyayangi Filonna daripada dirinya. Kebingungan melanda dirinya bersamaan dengan kesedihan tiada henti menyelimuti hatinya.
Ia hanya terduduk di sudut kamarnya, memandang kosong ke arah depan. Tangannya ia genggam erat, maniknya menunjukkan amarah yang meledak. Namun tubuhnya seakan terkunci. Dirinya hanya bisa diam di tempat. Walau hatinya tergerak untuk membalaskan kematian saudarinya. Walau pikirannya tergerak untuk menyusul Ibunya dan mengatakan bahwa wanita itu tidak bersalah. Namun itu semua seakan percuma. Ia seakan lumpuh dalam sesaat. Dalam beberapa hal ia hanya bisa menggerakkan jemarinya, selebihnya tidak.
Suara ketukan pintu terdengar. Hatinya tengah mengumpat karena mendengarnya. Dengan sekuat tenaga ia menggerakkan tubuhnya. Ia berhasil berdiri namun ia seakan tak mempunyai tenaga. Ia berjalan sempoyongan sembari bertumpu pada dinding. Ia membuka pintu kamarnya namun tak ada siapapun di sana.
Suara ketukan masih terdengar. Berarti itu suara dari ketukan pintu masuk. Ia menghela nafas kasar lalu berjalan turun melalui tangga dengan tenaga yang hampir habis. Dengan perlahan ia menuju ruang tamu dan membuka pintu."Kami dari kepolisian kota Roma. Kami ditugaskan untuk menggeledah rumah ini." Ujar seorang pria berkulit gelap dengan postur badan besar dan tinggi.
"Kalian tidak berhak melakukannya." Ujar Dreaf dengan tatapan tajam yang ia tunjukkan kepada pria itu tanpa rasa takut sedikitpun.
"Tapi kami berwenang anak muda. Cepat geledah rumah ini dan cari bukti pembunuhannya."
Beberapa pria dengan seragam polisi memasuki rumah itu dengan paksa. Menggeledah setiap sudut rumah tanpa meninggalkan sisa sedikitpun.Dreaf hanya bisa meratapi semuanya dalam diam. Setelah semuanya, ia tak mampu melakukan apa apa lagi. Ia menatap pria berkulit hitam yang pertama kali berbicara dengannya tadi.
"Ibuku tidak bersalah Pak. Tidak mungkin Ibuku membunuh putrinya sendiri." Ujar Dreaf dengan tatapan nanar.
Polisi itu menatap dengan tegas. Setelahnya nampak mencuramkan alis. Tangan kokohnya memukul punggung Dreaf pelan.
"Aku rasa itu juga bukanlah hal yang tidak mungkin. Namun di samping jenazah adikmu, terdapat jenazah lain dengan keadaan mengenaskan. Psikolog yang ikut berpartisipasi bersama kami tentang pembunuhan itu mengatakan, mungkin saja Ibumu tidak sengaja karena dalam keadaan terdesak."
"Tidak sengaja membunuh adikku begitu?!" Amarah Dreaf membuncah.
Ia menggenggam erat tangannya. Sampai kubu kubu tangannya memutih. Umpatan yang ia ungkapkan di batinnya. Keparat dengan psikolog yang memberi kemungkinan yang gila. Namun ia tak dapat melakukan apa apa, sidang Ibunya saja belum dapat di laksanakan.
Para polisi yang tadinya menggeledah rumahnya kini berbaris rapi di depan mereka.
"Kami tak menemukan apa apa yang mencurigakan."Pria berkulit gelap itu mencuramkan alis setelah mendengar laporan itu. Ia lalu menatap Dreaf penuh arti.
"Sudah kubilang, Ibuku tidak bersalah."
***
Suara langkah kaki terdengar teratur di lorong berdinding putih. Wanita cantik berambut pink rose berjalan dengan anggunnya. Sepatu hak tinggi yang di kenakannya membuat lorong sepi itu menjadi hilang keheningannya. Netra kelamnya menatap tegas dan penuh percaya diri ke arah depan. Ia membuka pintu berwarna putih dan memasuki ruangan bernuansa tenang dengan perabotan serba putih. Tak lupa dengan sel sel kedap suara yang membuat ruangan itu seakan sempit.
"Ada apa sampai kemari, Nona Lawson?" Tanya seorang pria tua dengan sopan.
"Kepolisian tidak menemukan bukti. Aku harus bertemu dengan pelaku." Jawab perempuan itu.
Pria tadi hanya mengangguk dan menuntunnya menuju salah satu sel. Pria itu mengeluarkan kunci dan membuka sel itu setelahnya mempersilahkannya masuk.
Seorang wanita nampak kacau tengah terduduk memeluk lutut di sudut ruangan kosong dan bercat putih itu. Dengan perlahan ia mendekati wanita itu. Wanita itu mengangkat wajahnya dan menatapnya dengan lesu.
"Selamat siang Ny. Regis, Lerna Regis bukan? Namaku Mila Lawson, aku seorang psikolog yang menangani kasusmu." Ujarnya dengan pelan.
Lerna mencuramkan alis dan menatap dengan penuh amarah.
"Aku tidak punya kelainan jiwa Nona. Sekarang juga bebaskan diriku dari sini! Kalian semua, bisa bisanya menuduhku membunuh putriku sendiri!" Ujar Lerna dengan penuh amarah.Matanya berkilat, dirinya bangkit dan berusaha menyerang Mila. Tapi hal itu berhasil di tahan oleh dua orang polisi yang menemani Mila di sel itu.
"Aku sudah berusaha untuk sopan Ny. Regis. Aku dikirim ke sini bukan untuk memulihkanmu. Bukankah sudah kubilang aku menangani kasusmu?" Ujar Mila dengan usaha agar hatinya tetap tenang.
"Katakan, katakanlah apa yang ingin kau bicarakan." Lerna nampak tak sabar.
"Polisi tak menemukan bukti pembunuhan mu." Ujar Mila singkat.
Lerna kembali beraksi. Ia mengguncang tubuhnya berusaha melepaskan diri dari kekangan polisi.
"Aku tidak bersalah Nona! Aku tidak melakukannya!"Mila mencuramkan alis, matanya menatap manik kelam Lerna dengan teliti. Nampak tak ada kebohongan di sana. Serentak pikirannya berkecamuk, seakan sejak kala itu ia percaya bahwa Ny. Regis benar benar tak membunuh putrinya. Lalu siapa? Siapa yang dengan jeniusnya mampu menyembunyikan diri dalam kasus pembunuhan. Bahkan menggunakan orang lain yang menjadi tersangka. Ia benar benar tak mengerti, pikirannya tak sampai pada hal hal yang terlalu jauh.
Ia kembali menatap Ny. Regis.
"Nyonya aku akan berbicara semuanya denganmu, begitu juga sebaliknya. Jika kau mampu mengendalikan dirimu dengan senang hati aku akan berlaku baik juga padamu."Lerna menjadi lebih tenang. Polisi melepaskannya dan meninggalkan Mila dan Lerna di sel itu.
"Entah mengapa, aku percaya kau bukan pelakunya Ny. Regis." Mila membuka percakapan.
"Aku sudah katakan padamu, aku tidak bersalah. Jadi lepaskan aku sekarang juga." Ujar Lerna.
"Aku berhak mengatakan bahwa kau tak bersalah. Tapi aku tak berhak membebaskanmu sebelum sidang dimulai. Masalahnya polisi menemukan sidik jarimu di tubuh korban. Tidak hanya itu mereka juga menemukan sidik jarimu di pisau dan pistol di tempat kejadian. Itu akan menyulitkan pembebasanmu." Jelas Mila.
Lerna terisak, ia menyerah. Dirinya nampak lemah, kini ia tak mampu berbuat apa apa.
"Dreaf sendirian sekarang. Ayahnya telah tiada dan adiknya menyusulnya sekarang. Lalu ia mengetahui bahwa aku pelakunya. Aku bukanlah Ibu yang baik." Ucap Lerna di sela tangisannya.
Mila mengulurkan tangan dan memeluk Lerna. Bagaimanapun ia mengerti perasaan seorang perempuan. Hatinya turut bersedih akan apa yang terjadi. Namun dirinya hanya bisa mencari, mencari bukti yang mungkin saja membuat Ny. Regis semakin muram. Dirinya dipenuhi kebingungan, tak pernah dirinya sebingung ini sebelumnya.
"Aku akan membantumu Ny. Regis. Aku akan membela yang benar." Ujar Mila dengan manik berkilat.
***
Maaf ya cuma pendek. Soalnya Author pengen update cuma besok udah sibuk. Jadilah Chap pendek seperti ini.
Oke...
Love Author To All...
Monday, 30 January 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
My Psychopath Boyfriend
Mystery / ThrillerHighest rank #1 in mystery/thriller : 25 Mei 2017 #2 in mystery/thriller : 17 April 2017 *** Di tahun 2076, kejahatan semakin meningkat. Kedua belah pihak yang berbeda berusaha memusnahkan satu sama lain. Kriminal, dengan kepolisian. Penjahat teka...