Setelah love mendatangi rumah orang tua Alex, ia malah sering senyum-senyum sendiri. Kadang bingung juga. Memang selama di apartemen Alex, Love juga merasa ada yang aneh pada bosnya. Ia merasa diperhatiin, padahal sebelumnya cuek minta ampun.
"Ish pagi-pagi melamun," ucap Santi memergoki Love.
"Eh ..., engak ko," jawab Love terbata.
"Noh, ada pak Dimas yang gantiin pak Luki dateng," terang Santi.
"Oh."
"Ko bete gitu kelihatannya?" Heran Santi.
"Gak apa-apa, ko." Love mengulas senyum, sambil berlalu ke rak kosmetik.
"Ish, aneh."
.
.
.
"Kalau penampilannya begini sih bukan SPG, tapi model kosmetik." Seorang pria datang menghampiri."Eh, ada Pak Dimas." Love membalikan badan dan membungkuk hormat.
"Ko, panggil Pak sih? Kan dah saya bilang," protes Dimas. "Terus ngapain juga mbungkuk gitu," lanjutnya.
"Iya saya gak lupa ko, tapi ini kan lagi kerja."
Setelah berbincang-bincang dengan Love, Dimas beranjak ke ruangan. Hari ini Alex datang ke swalayan, ada yang ia ingin sampaikan pada sepupunya.
***
Di ruangan ada Alex, yang sedang memeriksa laporan pemasok barang di swalayan. Tidak lama Dimas masuk, tanpa mengetuk pintu.
"Bos, sibuk nih?" Dimas langsung duduk si kursi sebrang meja kerja Alex.
"Kebiasaan, masuk nylonong aja, ini di tempat kerja. Harusnya kamu bedain dong, jangan kaya di rumah aja," gerutu Alex.
"Yeah maaf, kayanya lagi ada masalah? Tapi perasaan saya liat swalayanmu aman," ujar Dimas, saat melihat wajah muram Alex.
"Tadi saya liat kamu sama Love, sebaiknya kamu jangan deket-deket sama pegawai saya di sini," hardik Alex.
"Wah, jadi bener nih kata tante? Kamu suka sama Love," celetuk Dimas.
"Kapan ibu bilang gitu?"
Akhirnya Dimas menceritakan kedatangan Love kemaren di rumahnya, dan juga antusias kedua orang tua Alex saat ada kehadirannya.
"Jadi kalian dah tau semuanya?" tanya Alex penasaran.
"Udah, sepertinya tante kecewa sama kamu, atas perihal hukuman itu."
Alex mendengar penjelasan Dimas dengan seksama, tangan satunya di dagu. Pandangannya mengarah pintu kaca, melihat beberapa pegawai lalu lalang. Kemudian tersenyum sendiri, tanpa sebab.
"Gue keluar ajalah, dicuekin gini." Dimas beranjak meninggalkan ruangan.
"Tunggu."
"Apaan?" Dimas tidak jadi membuka pintu.
"Inget, jangan deket-deket."
"Halah, posesif."
***
Setelah jam kerja selesai, Love sekarang lagi di loker. Ganti seragam dengan baju biasa. Tidak lama ia pun keluar, dari ruangan kusus karyawan.
Saat keluar, ia melihat ada Alex sedang menyender pintu lorong arah menuju loker. Gadis itu pun melambatkan langkahnya, ada perasaan aneh yang datang tiba-tiba.
Pria yang sedang menunduk asyik dengan ponsel itu pun menyadari, ada seseorang melangkah ke arahya. Dengan cepat ia mengantongi benda pipih itu. "Ve, bisa bicara sebentar?" tanya Alex, setiba Love di depannya.
"Bisa, Pak."
"Ya sudah, tapi tidak di sini, ayo ikut." Alex menyuruh Love mengikutinya.
Kini mereka sudah berada di kafe di sebrang swalayan. Alex menarik salah satu kursi, dan mempersilakan perempuan itu duduk.
Mendapat perlakuan manis seperti itu, rasanya jantung Love mau loncat, gugup.
"Terima kasih, Pak." Perlahan pegawai itu duduk, sambil terus memegangi pipi. Serasa ada yang menguap, panas. Wajahnya sudah dipastikan merah, seperti udang rebus, malu.
Alex pun duduk. Mereka berdua duduk bersebrangan.
"Ekhem!" Alex berdehem sebelum memulai bicara. Rasanya gugu, tidak seperti biasanya.
"Ve, kamu kemaren ke rumah ibuku ya?" tanya Alex.
"Iya, Pak, maaf kalau saya gak izin dulu sama Bapak."
"Iya gak apa-apa, Dimas yang memberi tahuku," katanya.
Sebelum Alex melanjutkan ucapannya lagi. Love tidak mau buang-buang kesempatan, ia langsung bertanya perihal Luki. "Maaf, Pak, apa Bapak pecat pak Luki?"
"Tadi kan saya yang ajak bicara kamu, kenapa kamu malah tanyain Luki, kamu menyukainya?" tanya balik, kesal. Seketika rasa gugup tadi menguap entah kemana, bergantikan seperti asalnya lagi, datar.
"Tidak begitu, maksud saya ...."
"Aku pindahkan dia ke luar kota, yang jelas dia ga bisa deket-deket kamu lagi," tukasnya.
Love melongo, tidak percaya. Enggak salah dengar? tanyanya dalam hati.
Ada apa dengan bos ini? Semakin deg-degan saja. Melihat kelakuan bosnya yang mulai aneh, kadang ramah, kadang jutek.
"Apa yang Ibuku bilang kemarin itu bener adanya," terang Alex.
"Maksud Bapak, bilang apa, ya?" Sebenernya ia tau, apa yang Alex bicarakan. Tapi Love kurang yakin, dan enggak mau berbesar hati dulu.
"Heem, emang kamu lupa?" tanyanya gemes dengan kepura-puraan gadis berkerudung itu.
"Maksudnya, yang tante Winda duga gitu?"
"Iya, kamu mau kan kalau suatu saat nanti jadi istriku?" kata Alex, enteng. Seolah-olah, mudah mengajak nikah.
Suasana mendadak banyak angin. Serasa ada angin yang meniup wajah, dan jantung berdetak dengan cepat, seakan mau loncat keluar. Wajahnya sudah pasti merah seperti tomat, Love lebih gugup sekarang. "Bapak tidak bercanda?"
"Apa ada tampang bercanda di wajahku? dan aku minta kamu jangan panggil aku Bapak jika kita sedang berduaan," terang Alex.
"Jadi saya harus panggil apa?"
"Sesukamu aja." Sambil senyum menyeringgai. "Mas boleh, hani boleh, bebeb juga boleh," lanjutnya sambil terkekeh.
Di saat seperti itu Love diam, terpaku melihat Alex yang selalu tersenyum seperti ini. Sangat-sangat tampan. Lama memandangi wajah itu, ia tidak sadar kalau yang dipandang menyadarinya.
"Aku tau aku tampan," ucap Alex bangga.
"Ah." Love kikuk, tatapannya beralih ke segala arah.
"Jadi gimana jawabannya? kurasa kamu tak perlu meragukanku, mengingat kedua orang tuaku mendukungku," ucap Alex.
KAMU SEDANG MEMBACA
BOS ITU (Tersedia Ebook)
General FictionBagaimana jadinya ketika ingin kerja baik-baik, malah dapat masalah? Urutan terbalik no 1 pindah ke no 2. Ah, ya. Tulisan ini masih berantakan, dan lagi masa pengeditan. Mungkin banyak yang bingung, tapi mohon maklum, ya. Ini tulisan pertamaku😊