Prolog

2.3K 106 2
                                    

Hidup bagi Vazza hanyalah sebuah anugrah. Ya, makhluk malang yang tak memiliki sesuatu pun untuk digenggam kecuali keyaninannya. Namun, meski begitu... Senyum cerahnya tak pernah pudar. Setiap hari ia jalani tanpa raut kesusahan. Orang akan menatapnya sebagai Vazza, gadis yang selalu ceria meski ribuan beban menghimpitnya.

"Maaf Vazza, Budhe terpaksa menitipkan kamu di rumah saudara jauh kita. Budhe harus pulang ke kampung karena Nenekmu sedang sakit. Budhe tidak mungkin menyuruh kamu tinggal di kontrakan sendirian dan membayar biaya sewanya." Vazza mengangguk. Ia tak bisa merepotkan budhenya lebih banyak lagi.

"Nggak apa-apa Budhe, Vazza cari kos an aja."

"Vazza, tapi Budhe udah terlanjur bilang ke Nanda."

Vazza mengeryit bingung.

"Nanda siapa Budhe?"

"Nanda itu suaminya Raya. Kakak sepupu jauh kamu. Kamu mau ya disana. Jarak kampus kamu juga dekat dari sana. Kamu bisa lebih hemat." Vazza jadi merasa tak enak. Apakah dia harus menumpang di rumah sepasang suami istri?

"Raya itu seorang wanita karir. Dia jarang ada di rumah. Padahal Nanda juga sibuk. Kasihan Hito. Umurnya baru 3 tahun dan dia jarang dipeluk orang tuanya. Kamu bantuin jagain Hito ya nanti." Vazza mengangguk. Biar bagaimanapun budhenya mengusahakan yang terbaik untuk Vazza, bahkan karena budhenya tak memiliki anak, pakdhenya memberikan sebagian penghasilannya untuk biaya kuliah Vazza.

Jadi sore itu juga Vazza mulai mengepak pakaiannya dan bersiap untuk pergi ke rumah Nanda. Jantungnya berdetak cepat. Bagaimana jika nanti Nanda ataupun Raya tak suka padanya? Ia hanya akan semakin menyusahkan orang lain.

"Vazza, ayo kita berangkat." Budhe membawa kopernya sendiri, begitupun dengan Vazza. Setelah mengantarkan Vazza, budhe akan langsung ke terminal.

Sambil menyusuri jalanan komplek, Vazza mencari alamat yang tertera di kartu nama. Ananda Ferrando. Seorang pemilik perusahaan properti. Pasti orang ini kaya, batin Vazza. Dan orang kaya biasanya standartnya tinggi. Vazza menatap dirinya sendiri. Lusuh dan terlihat culun. Apalagi dengan kaca matanya. Vazza menghela napas.

"Nah, ini Za rumahnya." kata budhe. Vazza menoleh. Menatap rumah dua lantai yang memiliki halaman lumayan luas. Ada dua buah mobil terparkir di depan garasi.

"Kebetulan, Nanda pasti ada di rumah. Ayo kita masuk." Budhe menarik tangan Vazza. Kesan pertama adalah, rumahnya besar dan indah. Ada ayunan rotan juga di dekat kolam ikan depan rumah. Bersih dan rapi. Setelah pintu terbuka, budhe dan Vazza dipersilahkan masuk oleh asisten rumah tangga Nanda. Mereka berdua duduk di ruang tamu. Menunggu kehadiran Nanda yang katanya tidak masuk kerja karena sakit.

Suara langkah kaki membuat Vazza mendongak. Menatap seorang pria bertubuh tinggi tegap yang mengenakan pakaian hangat dengan wajah pucat. Budhe segera menghampiri pria itu.

"Harusnya kamu nggak perlu keluar. Biar Budhe yang masuk. Kamu sedang sakit." Pria itu tersenyum tipis, lantas berkata, "nggak apa-apa Budhe. Udah dibuatin minum?" tanya Nanda.

"Nggak usah, Nan. Budhe cuma sebentar. Cuma mau nitipin ponakan Budhe sama kamu. Itu anaknya. Namanya Vazza, dia sekarang kuliah semester akhir. Beberapa bulan lagi udah wisuda." Nanda mengangguk singkat. Budhe memang sudah mengatakan hal ini. Perihal budhe tak bisa mengajak Vazza kembali ke kampung karena sebentar lagi kuliah Vazza selesai.

"Budhe benar nggak mau nginep dulu?" tanya Nanda.

"Nggak usah. Ini udah mau ke terminal."

"Biar diantar sama supir Nanda saja." Awalnya budhe hendak menolak. Namun Nanda berkeras, jadilah budhe berangkat ke terminal diantar oleh supir Nanda.

Dan di sinilah Vazza. Duduk bagai patung lilin yang terpahat sedemikian nyatanya. Menatap kuku jarinya yang tak dipoles apapun. Menunggu instruksi dari sang pemilik rumah.

"Saya udah tahu kamu dari Budhe." suara serak namun maskulin itu terdengar ke telinga Vazza. Membuat gadis itu mendongak menatap Nanda meski hanya sebatas dagunya saja.

"Nama saya Ananda, kamu bisa panggil Nanda. Kamar kamu ada di lantai dua. Kamar ke dua dari tangga." Vazza tahu Nanda sedang sakit. Namun bila tidak sedang sakit, apakah Nanda memang orang yang ketus dan terdengar tidak bersahabat? Tapi tadi dengan budhe dia...

Ah sudahlah. Vazza harus tahu diri. Ia mengangguk dan mengangkat kopernya menuju lantai dua. Ia bisa merasakan tatapan menusuk Nanda yang seakan menembus punggung kecilnya. Sambil menghela napas berat, Vazza masuk ke dalam kamarnya. Desainnya minimalis. Memang karena kamar ini tidak digunakan. Untunglah ia tak harus nge kos dan banting tulang cari uang.

Yang Vazza tidak sadari... Semua ini bukanlah awal dari kemudahan, namun hanyalah permulaan dari kesulitan yang akan ia hadapi nantinya.

****

Gimana prolognya? Monggo diantisipasi apdetan cerita baru gw. Jangan khawatir, bakalan gw up kalo ada waktu luang. Hehe...

Silahkan ya dikomen yang rame, divote juga...

Bye...

Another Side ¦ Book 1 Of 2✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang