TUJUH BELAS

454 40 0
                                    

Pengennya bikin kalian termehek-mehek gegara baca part ini. Tapi nggak tau deh, liat aja entar... Hehe...

****

Vazza enggan membalikkan tubuhnya. Dan Nanda enggan melepaskan pelukannya. Mereka terdiam. Namun Nanda tahu kalau Vazza sedang menangis. Ia bisa merasakan tubuh mungil Vazza bergetar walaupun sekuat tenaga Vazza mencoba menahan tangisnya.

"Za, kamu udah janji..." bisik Nanda lagi.

Vazza tak bisa mendengar suara sedih itu. Tidak bisa. Ia akhirnya mengangguk. Tak akan mencoba melarikan diri lagi dari Nanda.

Pria itu melepaskan pelukannya dan membalikkan tubuh Vazza yang berubah kaku. Nanda masih tak bisa melihat wajah Vazza. Gadis itu tetap setia menunduk dengan isakannya yang tak bisa ia tahan.

"Lihat aku, Za." pinta Nanda. Vazza menggeleng.

"Please..." Nanda memohon. Gadis itu tengah berperang dengan hatinya.

"Let me see your face, Girl..." lagi-lagi Vazza menggeleng. "I can't..." cicit Vazza.

"Why?" Nanda mengusap kepala Vazza. Vazza hanya menggeleng.

"Kamu tega sama aku, Za. Dengan kamu berbuat seperti ini, kamu hanya akan menyakiti perasaanku. Aku merasa nggak berguna," keluh Nanda.

"Kak Nanda nggak perlu khawatir. Aku nggak apa-apa..."

"Omong kosong. Kamu pikir aku bakalan percaya?"

Nanda mengangkat dagu Vazza, matanya membulat ketika melihat noda darah dan lebam di wajah Vazza. Nanda bungkam. Tak bertanya ataupun mengatakan hal lain. Ia kemudian memeluk gadis itu dan menyelami pikirannya sendiri. Bertanya-tanya meski tak mungkin ada yang menjawabnya. Vazza juga sama. Dia hanya diam dalam pelukan Nanda yang terasa aman dan nyaman.

"Kalo mau nangis, nangis aja. Sekarang nggak ada yang liat kamu." ujar Nanda.

Sekarang, giliran Nanda menyuruhnya untuk menangis, ia tidak bisa menangis. Oh Tuhan, kenapa semua jadi seperti ini?

Nanda melepaskan pelukannya dan merangkul Vazza, lalu mengajaknya masuk ke dalam mobilnya. Di dalam mobil, Nanda menyibakkan rambut Vazza yang kini bertebaran di mana-mana. Padahal biasanya rambut Vazza selalu dikuncir rapi. Entah kemana ikat rambut gadis itu sekarang.

"Kenapa liatin aku?" tanya Vazza.

Risih karena Nanda melihatnya. Mungkin pria itu sedang mengasihaninya saat ini.

"Aku nggak kasihan sama kamu. Aku pernah liat orang dibully, dan kamu salah satunya." Vazza mengdongak menatap Nanda dengan ekspresi wajahnya yang sulit Vazza pahami. "Lebih deket sini." Nanda menarik Vazza agar lebih dekat dengannya.

Pria itu kemudian membuka dashboard dan mengambil kotak p3k. Ia menuangkan alkohol pada kapas dan mencoba membersihkan luka Vazza.

"Dari awal waktu itu kamu luka, aku udah nggak asing lagi. Kamu pasti dibully kan. Tapi aku lihat kegigihan kamu dan yah... Aku cuma nggak ingin kamu tambah menderita, jadi aku nggak ambil tindakan." Vazza meringis. Nanda mengusapkan kapas dengan perlahan ke sudut bibir Vazza. "Tapi, kalo sekarang kamu mau aku bertindak... Why not? I'll stand right by your side... Just remember, You have me." Nanda selalu membuat setiap kata-kata yang dia ucapkan memiliki makna ganda. Vazza hampir-hampir ingin memeluk pria ini jika saja ia tak ingat. Nanda menganggapnya sebagai adik.

"Kak... Apa yang Kakak lakuin begitu banyak buat aku... Mungkin aku cuma bakalan kecewain Kakak aja. Aku nggak bakalan bisa bales semua ini. Aku udah ngerepotin budhe sama pakdhe dan sekarang Kakak..."

Another Side ¦ Book 1 Of 2✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang