EMPAT BELAS

489 37 0
                                    

Kepriben yak?! Gimana kabarnya. Semoga selalu sehat atas berkat dan rahmad dari Tuhan Maha Esa.

Aamiin...

Langsung aja deh, dibaca...

****

Rasanya sakit, sekujur tubuhnya seperti remuk redam. Matanya mengerjap. Membuka sesaat hanya untuk menyaksikan puluhan jiwa lainnya yang telah melayang. Seketika mata bulatnya melebar, mencoba menghalau rasa perih yang mendera, tangannya menggapai. Menggapai harapan, semoga saja apa yang ia takutkan tidak terjadi. Namun harapannya sia-sia. Dua tubuh di hadapannya diam tak bergerak. Entah apakah hanya kesadarannya saja yang hilang, atau memang jiwanya yang telah hilang.

Vazza mencoba meraih tangan ibunya. Mencoba meyakinkan dirinya bahwa ibunya masih ada.

Ibunya diam. Tangannya mulai terasa dingin. Air mata Vazza mengalir. Ia hendak berteriak, namun suaranya tertelah di tenggorokannya. Terasa sangat sakit, baik hati dan fisiknya. Entah sudah berapa lama ia terjebak dalam kesakitan itu, hingga dunianya perlahan menggelap dan semuanya terasa dingin.

"Pak tolong anak ini. Kondisinya kritis, detak jantungnya melemah." suara bising memenuhi UGD rumah sakit. Semuanya terlihat sibuk berlalu lalang. Bahkan dokter didatangkan dari luar kota untuk membantu para pasien yang terus berdatangan.

"Siapkan ruang operasi segera." kata seorang pria dengan jas putihnya.

"Siapa keluarganya, kita harus segera melakukan operasi."

"Kedua orang tuanya turut menjadi korban dalam kecelakaan, Dok. Keduanya meninggal dunia di tempat."

"Ada keluarga lain?"

"Paman dan Bibinya sedang dalam perjalanan."

Hening. Vazza merasakan tangan dan kakinya terasa dingin. Lalu sebuah cahaya menerpa kulitnya ketika ia termenung di hamparan rumput yang luas tiada terkira. Vazza memandang lurus. Menatap arah datangnya cahaya yang membuat rasa dingin perlahan lenyap.

Senyumnya merekah kala ia melihat wajah teduh nan cantik milik ibunya. Wanita itu berjalan menghampirinya dengan senyum manis seperti biasanya.

"Vazza menyesal?" tanya ibunya.

Gadis itu menatap sang ibu dengan tatapan bertanya.

"Semua takdir datangnya dari Tuhan, Nak. Dan Tuhan tidak pernah mengecewakan hambanya." Vazza mengerti. Ibunya selalu mendidiknya untuk ikhlas. Terhadap apapun. Senang atau sedih, baik atau buruk, pertemuan atau perpisahan.

"Vazza nggak nyesel, Buk. Vazza sayang Ibu." gadis itu memeluk ibunya dengan erat.

"Tuhan punya rencana baik buat kamu. Rencana yang nggak akan kamu sangka. Semakin tinggi kadar iman kamu, maka kamu akan semakin diuji... Jangan sekalipun kamu meragukan takdir dari Tuhan ya, sayang..." kata ibunya dengan lembut. "Vazza anak ibu yang kuat. Ayah dan ibu bangga dengan Vazza. Tetap jadi mentari di manapun kamu berada ya, buat sekeliling kamu menjadi bersinar." Vazza mengangguk paham. Perlahan, belaian tangan ibunya memudar. Menyisakan kekosongan yang berarti dalam rongga hati gadis muda itu. Bayangan akan senyum ibunya akan menjadi pelipur rasa rindunya.

"Vazza sayang sama Ibu. Tapi Tuhan lebih sayang Ibu jutaan kali daripada Vazza, jadi Vazza nggak nyesel..." gumam gadis itu.

"Vazza..." Nanda sedikit menepuk pipi gadis itu. Vazza gelisah dalam tidurnya. Entah sejak kapan Vazza tidur di sofa. Gadis itu terbangun dengan kaget. Ia menatap Nanda dengan tatapan bingung.

Another Side ¦ Book 1 Of 2✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang