Epilog

1.3K 44 0
                                    

Huft, akhirnya nyampe juga nih ending part. Sekali lagi, jangan hamiki author yang merah merona ini yes... Entar deh gw jelasin lagi.

Vote dahulu, baru baca... Wkwk

****

Gemericik suara air yang terjun dari shower terdengar cukup jelas dari dalam sebuah kamar mandi mewah. Seorang pria keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk melilit di pinggulnya. Air menetes melalui rambut, wajah dan mengalir melewati kulit-kulit tubuhnya dengan indahnya. Otot-otot kencang tanpa timbunan lemak terpahat indah di tubuh pria itu. Tonjolan 6 kotak otot yang disebut rectus abdominis menambah keindahan tubuhnya.

Pria itu melepas handuknya dan mengeringkan rambutnya. Lantas memakai celana bokser merk ternama dengan harga selangit.

Tok tok!

"Masuk, Mbok."

"Tuan, ada Den Sandi di depan." kata Mbok Inem.

"Suruh nunggu-"

"Gue nggak sudi nunggu cowok dandan." Sandi menerobos masuk ke dalam kamar Nanda. Sandi kemudian berjalan menghampiri meja Nanda menyeruput secangkir teh yang ada di sana dengan tidak tahu dirinya, "gue males banget di rumah. Nongki yuk."

"Najis!"

"Halah... Ayo. Gue udah pesen tempat romantis."

"Jangan mentang-mentang cewek nggak ada yang suka sama lo, terus sekarang lo jadi belok ya!"

"Sans bro. Gue nggak belok. Cuma ganti selera aja."

"Sialan," Nanda memukul lengan Sandi. Membuat Sandi tertawa.

"Gue serius. Ada yang mau gue omongin. Soal Vazza." Seketika Nanda memegang. Ia langsung memakai kemeja dan celananya lalu menghampiri Sandi, "nah gitu dong pake celana sama baju. Kan gue jadi nggak keliatan kayak homo mesum."

"Buruan bilang, lo dapet kabar apa soal Vazza." Todong Nanda.

"Sabar dong bossque. Gue nggak mau ngomonginnya di rumah lo." Sandi menggeret Nanda keluar dari kamar pria itu dan mendorongnya masuk ke dalam mobilnya.

Selama setengah jam mereka perjalanan, akhirnya Sandi membelokkan mobil di sebuah kafe yang lumayan ramai. Kafe kekinian yang tipikal Sandi sekali. Dengan bangga, Sandi membukakan pintu untuk Nanda dan mempersilakan Nanda masuk, "monggo Kanjeng Boss." Nanda menatap Sandi dengan tatapan aneh.

"Mbak, reservasi atas nama Sandi." kata Sandi.

"Silakan, Pak." kata pelayan tersebut.

"Gaya amat lu di kafe pesen tempat." bisik Nanda.

"Bossque, kafe ini bukan sembarang kafe. Kafe ini sangat ramai di weekend seperti saat ini. Lo liat sendiri kan, tempatnya udah full. Kalo gue nggak pesen tempat, pasti kita cuma bisa lesehan di teras sekarang."

"Au lah serah lo. Buruan kasih tahu gue soal Vazza."

"Bentar. Mau pesen makan sama minum dulu." Sandi memanggil pelayan dan meminta daftar menu.

****

Marchel duduk dengan risau di sebuah kafe. Ia duduk bersama seorang pria dengan jambang tipis dan wajah sangar.

"Belum ada kabar boss. Tapi anak-anak udah saya suruh nyebar sampai ke luar kota. Bandung dan sekitarnya, Banten, Tangerang, semua kita obok-obok, Boss." terang pria itu. Marchel menghela napas. Ia rasanya nyaris gila karena tak kunjung menemukan Vazza.

Marchel menyeruput jus jeruknya dengan gamang, "pokoknya, kalian harus menemukan Vazza lebih dulu. Saya nggak mau kalau anak buah Nanda yang menemukan Vazza lebih dulu." kata Marchel.

Another Side ¦ Book 1 Of 2✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang