DUA PULUH

506 36 0
                                    

Masih pada sabar kan nungguin apdetan gw??? Sabarin aja lah...

Vote dulu kawanz...

****

Darma benar-benar pusing menghadapi kedua anaknya. Di saat seperti ini, ia merindukan sosok wanita yang dulu menemani hari-harinya. Darma bahkan tak memikirkan lelah yang kerap menghinggapinya kala Anisa menemaninya setelah seharian bekerja.

Mungkin ini karma. Ya, ini karma karena ia membiarkan ayahnya berkuasa terhadap hidupnya. Dan kini apa yang coba ia lakukan? Mencoba mengendalikan hidup Marchel? Mengatur masa depan anak sulungnya itu sama seperti dulu ayahnya lakukan padanya?

Sesaat Darma merasa menyesal. Namun selebihnya, ia masih diliputi ego yang besar. Ia selalu ingin semua selalu sesuai kehendaknya.

Jika saja, dulu ia berani melawan ayahnya, mungkin kini ia masih bisa bersama-sama dengan Anisa. Ia, Anisa, Marchel dan Cantika. Keluarga kecilnya akan terasa hangat meski mereka hidup beralaskan ubin sekalipun.

Darma menyesali sikap lemahnya. Anisanya, wanitanya satu-satunya harus menjadi korban. Jangan kira ia tidak terluka. Darma terluka lebih dari siapapun. Darma sangat kehilangan dan terpuruk. Bahkan ia hampir merasa putus asa. Jika ia tak memandang putri bungsunya, mungkin ia akan segila Cantika. Namun sebagai ayah, ia tak bisa bersikap lemah. Yang bisa ia lakukan adalah berpura-pura tangguh dan menopang kedua anaknya.

Darma tahu, Cantika menyimpan begitu banyak dendam dalam tubuh kecilnya. Betapa terpuruknya gadis kecilnya itu. Cantika marah padanya. Benar-benar marah.

Darma membuka lacinya, ia mengeluarkan potret seorang wanita yang tengah tersenyum sambil memeluk seorang anak laki-laki di atas tikar.

Anisa duduk sambil memperhatikan dua laki-laki yang usianya terpaut jauh itu. Darma dan Marchel. Ia tersenyum, "sayang, ini dimakan sandwitchnya... Jangan lari-larian terus."

"Iya, Ma... Papa ngejar aku terus, aku capek." kata bocah laki-laki itu.

"Sini, ayok makan sama Papa..." Darma meraih tangan kecil Marchel. Anisa tersenyum melihat Marchel digendong oleh ayahnya, mereka imut sekali...

Akhir-akhir ini Anisa merasa tidak enak badan. Mungkin ia akan memeriksakan dirinya, lagipula sudah lama sejak terakhir kali ia datang bulan. Jangan-jangan, dia hamil...  Memikirkannya saja membuat Anisa bahagia...

Itu adalah piknik mereka untuk terakhir kalinya. Darma mengusap foto yang mulai usang itu. Anisa cantik, seperti biasanya. Kini semua itu hanya tinggal kenangan.

Mata Darma kemudian melihat selembar foto lain yang tersimpan dalam lacinya. Napasnya tercekat ketika melihat sosok itu.

"Rasanya aku ingin mati, An." lirih Darma. "Aku berdosa, aku bersalah sama kamu. Bagaimana aku bisa menebus semua ini." Darma melepas kaca matanya dan mengusap air matanya.

Ia menatap dua figur dalam potret itu, seorang pria dengan senyuman khasnya yang memperlihatkan lesung pipinya, dan seorang anak perempuan di gendongannya.

"Papa kenapa sih maksa aku ke sini?!" Marchel menerobos ruangan Darma. Pria itu terkejut dan menjatuhkan selembar foto miliknya. Ia memakai kembali kaca matanya dan menatap Marchel yang tengah berdiri di hadapannya.

"Kamu nggak ada sopan santunnya sama orang tua."

"Pa, to the point aja. Ada apa?"

"Kamu harus terima perjodohan ini."

"Enggak Pa!"

Tok tok!

"Masuk." perintah Darma.

Another Side ¦ Book 1 Of 2✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang