7.1 Hero

1.9K 276 136
                                    

Jihoon mengerjapkan matanya perlahan. Matanya masih sensitif untuk menerima sinar matahari yang menyilaukan –yang tiba-tiba saja masuk ke dalam ruang inapnya, menusuk indera pengelihatan Jihoon yang masih sensitif karena baru saja terbuka.

"Euh," ia menggeliat pelan.

"Sudah bangun, Ji?" sebuah suara membuat Jihoon menolehkan kepalanya ke samping, menemukan sosok kekasihnya sedang berdiri di samping ranjangnya. Kuanlin tampak rapi, lengan kemejanya yang panjang digulungnya hingga sebatas siku. Membuat lelaki berusia 25 tahun itu semakin tampan.

"Ayo, sarapan dulu,"

Jihoon menggeleng pelan. "Tidak mau,"

Dahi Kuanlin berkerut saat mendengar perkataan Jihoon. "Loh, kenapa? Kamu belum lapar, Ji? Atau kamu ingin minum dulu?" Kuanlin kemudian meraih sebotol air putih dengan sebilah sedotan yang ada di dalamnya. "Ayo, minum dulu. Sepertinya tenggorokanmu kering,"

Dengan patuh, Jihoon meminum air putih dengan bantuan Kuanlin. "Mmm, sudah,"

Kuanlin terkekeh. Ia kembali menaruh botol air itu di atas laci yang ada di samping ranjang Jihoon.

Jihoon melirik ke pergelangan tangannya. Selang yang semula dialiri dengan darah itu sudah kembali berubah menjadi bening. "Darahnya sudah habis, ya?" tanya Jihoon pada Kuanlin.

"Iya, darahnya sudah habis semalam, jam dua. Katanya, kantung darah ketiga akan masuk pada jam sembilan. Maka dari itu, kamu harus makan dulu, Ji," Kuanlin kini duduk di samping Jihoon. "Ayo makan dulu, saya suapi,"

Jihoon membulatkan matanya. "Iih! Aku bukan anak kecil, Linlin! Aku bisa makan sendiri!"

Kuanlin kembali terkekeh. Entah mengapa ketika bersama Jihoon, Kuanlin jadi sering tertawa. Jihoon itu bagaikan mood booster Kuanlin, seperti charger yang akan me-recharge Kuanlin dari segala hal yang membuatnya penat. Jika sudah bersama Jihoon, rasanya ia sangat bahagia.

"Bukan anak kecil, hm? Siapa yang semalam makan donat lalu donatnya jatuh ke baju?"

Jihoon meringis. Semalam, ia tak sengaja menjatuhkan donat ke bajunya hingga mengharuskannya untuk mengganti pakaian.

"Tapi, aku bisa makan sendiri,"

Kuanlin menggeleng. "Biar saya yang menyuapimu," Kuanlin mengaduk pelan bubur yang sudah mulai dingin. "Buka mulutmu, Ji. Pesawat hendak masuk," Kuanlin menggerakkan sendok yang ada di genggamannya seakan-akan itu adalah sebuah pesawat yang hendak lepas landas.

"I-ish! Linlin! Aku bukan anak kecil! Aaa-,"

Jihoon membuka mulutnya, menerima suapan Kuanlin. Ia menelan bubur dengan rasa yang disukai oleh Jihoon. Kemarin, ia sengaja memilih menu bubur untuk sarapan paginya. Dan ia akan selalu memilih bubur untuk sarapan jika sedang dirawat di Rumah Sakit.

"Anak pintar," Kuanlin mengacak rambut Jihoon.

Manik mata Jihoon kini menatap Kuanlin, kekasihnya sedang asyik mengaduk bubur milik Jihoon. "Linlin sudah sarapan atau belum?" tanyanya.

Kekasihnya menggeleng. "Belum, memangnya kenapa?"

Jihoon memajukan bibirnya. "Bagaimana, sih! Kenapa Linlin belum sarapan? Linlin seharusnya sarapan dulu. Sini, biar aku suapi," Jihoon hendak merebut mangkuk yang kini ada di tangan Kuanlin, namun dengan sigap Kuanlin menghindar.

"Kau harus makan dulu, Ji. Saya biasa sarapan lebih siang dari ini," Kuanlin tersenyum. "Kamu tak perlu khawatir, nanti saya akan sarapan di bawah," ia kembali mengusak rambut Jihoon. Surai lembut Jihoon membuat Kuanlin selalu ingin mengacaknya. Bahkan, itu sudah termasuk dalam gerakan tanpa sadar yang dilakukan oleh Kuanlin.

989 Monete ; panwink ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang