10.2 Rains

1.3K 264 63
                                    

"Karena sebenarnya, saya masih belum bisa berhenti menyukaimu, Jieqiong,"

Senyuman Jihoon luntur seketika. Ia menatap lurus ke arah Kuanlin, melangkahkan kakinya untuk mundur teratur.

Ia berjalan cepat meninggalkan Rumah Sakit. Meninggalkan Kuanlin yang masih berinteraksi dengan Jieqiong. Ia meninggalkan keduanya begitu saja.

Senyuman getir tanpa sadar terulas di wajahnya. Hatinya mencelos begitu saja. Kalimat Kuanlin tadi masih terngiang di benaknya. Ia masih ingat betul bagaimana ekspresi serius Kuanlin ketika mengatakan kalimat tadi.

Jadi, ia ini dianggap apa sebenarnya?

Jika Kuanlin memang masih menyukai Zhou Jieqiong, kenapa Kuanlin selalu mengatakan jika ia mencintai Jihoon?

Segelintir pertanyaan terus berputar di benak Jihoon. Ia bisa merasakan matanya memanas. Ia ingin menangis. Tapi, tidak bisa. Ia tidak boleh menangis. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri jika ia tak akan menangis lagi karena sebuah hal sepele ㅡseperti cinta.

Jihoon menatap kotak bekal yang dibawanya. Ia menghela nafas dalam, sebelum akhirnya memilih untuk membuang semua kotak bekal yang sudah disusunnya dengan susah payah sejak beberapa jam yang lalu.

Ia hanya menyisakan satu kotak bekal. Bukan untuk dirinya. Tapi untuk teman kecilnya, Hyukie.

Keadaannya memang sedang tidak baik. Perasaannya hancur. Moodnya hancur. Jika ia menemui Hyukie sekarang, Hyukie pasti akan menyadari perasaannya dari raut wajahnya. Anak itu sangat sensitif.

Jihoon kemudian menemui seorang Petugas Keamanan yang cukup sering ia temui, hendak menitipkan kotak bekal yang tersisa untuk Hyukie sebelum ia benar-benar pergi dari Rumah Sakit.

Setelah melakukan tugasnya, Jihoon sesegera mungkin meninggalkan Rumah Sakit. Ia tak bisa menyangkal jika hatinya terasa benar-benar sakit sekarang. Bahkan ia tak menyadari jika air mata sudah mengalir dari pelupuk matanya.

Tidak ada niatan untuk menghapusnya, karena ia masih tak sadar.

Jihoon mengayunkan kakinya, berlari secepat yang ia bisa. Tanpa tujuan. Ia tidak tahu akan pergi ke mana. Ia sendiri tidak mengerti mengapa ia berlari seperti ini.

Ia tidak bisa menyangkal. Ia kembali menangis karena urusan cinta.

Jihoon bukan orang bodoh yang tak bisa membedakan yang mana kalimat kebohongan dan yang mana kalimat yang tulus. Kalimat yang didengarnya beberapa menit yang lalu adalah kalimat yang tulus.

Dan semua kalimat sayang yang selalu didengar Jihoon dari mulut Kuanlin juga merupakan kalimat yang tulus. Jadi, mana yang benar? Yang mana yang harus ia percaya sekarang?

Jihoon terkekeh pelan. Ia pada akhirnya menyeka air mata yang menyisakan jejak di pipinya. Ia terkekeh. Ia kembali menangis. Lagi lagi karena urusan cinta.

Jihoon mengadahkan kepalanya, menatap langit yang kini warnanya berubah menjadi kelabu. Ia mengerutkan keningnya. Kenapa ia tidak menyadari jika langit Seoul sudah berubah menjadi mendung? Seperti suasana hatinya saja.

Ia menoleh ke sekelilingnya. Entah bagaimana ceritanya ia berada di sekitaran Gwanghwamun. Bahkan, ia bisa melihat patung Admiral Yi Sun Shin dari tempatnya berdiri sekarang.

Itu berarti ia berlari cukup jauh dari Rumah Sakit tadi. Jihoon memilih untuk mendudukkan dirinya di salah satu bangku yang ada di belakang sebuah halte bus. Ia menghela nafas dalam. Jihoon tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.

Kembali ke Apartemen dan menyiapkan barang yang hendak dibawanya besok? Moodnya sudah hancur lebur. Ia tidak tahu apakah perjalanan ke Seogwipo selama beberapa hari akan menjadi pengalaman yang menyenangkan atau tidak.

989 Monete ; panwink ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang