Bab 24 : Without You

939 184 81
                                    

Ia menekan beberapa tombol pada kenop pintu rumahnya guna membuka kunci rumah itu. Ketika mesin itu sudah berbunyi, pintunya terbuka. Mengizinkannya untuk masuk ke dalam rumahnya yang terasa sangat dingin karena malam ini suhu mencapai minus sepuluh derajat. Lebih dingin dibandingkan tadi pagi walau bedanya hanyalah satu derajat. Lelaki itu membuka pantofel cokelatnya, menyimpannya kembali di rak sepatu yang berada di balik pintu. Ia menatap ke sekelilingnya, lampu rumahnya tampak padam. Lelaki itu mengerutkan keningnya, bingung.

"Ji, aku pulang".

Ia membuka suaranya. Tapi, tak ada sahutan sama sekali dari dalam rumah. Lelaki itu mengernyit, heran. Kakinya melangkah masuk ke dalam rumahnya. Walau ia masih mengenakan sepasang kaus kaki yang melapisi kakinya, ia bisa merasakan lantai kayu rumahnya sangat dingin dibandingkan biasanya. Tangannya merogoh dinding, menyalakan saklar lampu rumahnya guna membuat rumah itu tak lagi temaram.

"Ji?"

Lelaki itu melangkah masuk, membuka pintu kamarnya ㅡia tak menemukan seseorang di sana. Kemudian ia berjalan menuju pintu kamar yang ada di samping kamarnya, membuka kenop pintu itu perlahan. Lampu kamar itu padam, ia mengerutkan keningnya sebelum ia menyadari sesuatu yang membuatnya sedari tadi bergelut dengan bermacam pertanyaan dalam benaknya. Ia menyalakan saklar lampu kamar itu ㅡdan menemukan jika dugaannya benar.

Kekasihnya ㅡralat, mantan kekasihnya sudah pergi dari rumahnya. Lelaki itu tak bisa menemukan laptop milik kekasihnya yang biasanya terlipat di atas meja. Ia tidak bisa melihat kumpulan kuas yang ditampung dalam sebuah toples selai kosong yang sudah dilepas labelnya. Ia bahkan tidak bisa menemukan kehangatan yang biasanya menyelimuti rumahnya setiap hari.

Lelaki itu menghembuskan nafasnya berat. Sangat berat baginya. Sangat. Ia tak bisa mencium aroma seorang Park Jihoon yang biasanya menguar kemana-mana. Lelaki itu tak bisa merasakan keberadaan seorang Park Jihoon melalui radarnya. Tangannya menggenggam erat kenop pintu kamar yang biasa ditempati oleh Jihoon selama beberapa bulan ini. Lelaki itu menatap ke sekelilingnya, ia benar-benar tak bisa merasakan keberadaan Jihoon di sekitarnya.

Ia menghembuskan nafasnya kasar. Dengan gontai ia berjalan menuju dapur guna mengambil satu cangkir air mineral. Ia butuh sesuatu untuk melegakan tenggorokannya yang terasa sangat kering. Perlahan ia membuka kulkas setelah ia mengambil sebuah gelas yang biasa digunakannya untuk minum. Matanya menangkap satu teko besar berisi teh kesukaannya di salah satu sudut lemari es miliknya. Ia mengerutkan keningnya, tapi kemudian ia mengambil teko itu.

Perlahan ia menuangkan teh tersebut ke dalam gelasnya. Lidahnya mulai mengecap rasa yang tak asing baginya. Ini adalah teh yang biasa dibuat oleh Jihoon ketika dirinya sedang merasa lelah karena pekerjaan yang membuat pikirannya penat. Lelaki itu tersenyum getir sebelum menaruh gelasnya di atas marmer dapurnya.

Tubuhnya bersandar di kabinet dapur, ia menatap keseluruhan ruangannya. Ekor matanya menangkap sesuatu yang berada di atas meja makannya. Meja makannya sudah penuh dengan banyak makanan yang dimasak oleh Jihoon ㅡtentunya. Karena ia tak mungkin bisa memasak sebanyak dan sebaik Jihoon. Lelaki itu mulai mendekati meja makan karena ada sesuatu yang semakin menarik perhatiannya. Sebuah sticky notes dengan warna kuning yang sangat mencolok indera pengelihatannya.

Selamat malam, Lin. Mungkin saat kamu membaca pesanku ini, matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Lin, maaf aku hanya bisa membuatkanmu beberapa masakan ini. Aku juga minta maaf karena selama ini aku hanya merepotkanmu dan menjadi penghalang bagi hubungan kalian. Aku pergi, Lin. Jaga kesehatanmu, semoga semua harapanmu akan segera tercapai. Aku berharap yang terbaik untukmu. Terima kasih karena kau mau menampungku di sini. Aku cinta kamu.

Kuanlin meringis. Hatinya terasa tersayat ketika ia membaca tulisan tangan Jihoon yang tampak rapi. Kuanlin menatap isi meja makannya sekarang. Ada banyak makanan yang ia sukai tertata di atasnya. Kuanlin menatap dua kursi yang ada di depannya. Memori tentang ia dan Jihoon kembali berputar di benaknya. Banyak memori yang mereka buat di meja makan yang menjadi tempat mereka untuk bertukar cerita mengenai hari-hari mereka yang beragam. Kuanlin merasa tubuhnya lemas. Ia duduk di kursi yang biasa ia duduki, menatap lurus ke arah kursi yang biasa diduduki oleh Jihoon. Lelaki itu memegang semangkuk nasi yang sudah dingin, tapi ia tak peduli walau ia bisa merasakan mangkuk itu sedingin suhu yang ada di luar.

989 Monete ; panwink ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang