Bab 6 : No Rules

2K 299 152
                                    

Amor ordinem nescit.

Cinta tak mengenal aturan.

Awal musim semi, tanggal 16 Maret.

Sudah seminggu berlalu sejak seorang Lai Kuanlin mendapatkan pencerahan tentang perasaannya pada Park Jihoon. Selama satu minggu itu, Kuanlin dan Jihoon jadi semakin intens berkomunikasi. Tidak, mereka tidak berkomunikasi seharian penuh. Hanya saja, durasi komunikasi mereka bertambah sekitar setengah jam.

Mereka jarang bertemu karena kesibukan mereka masing-masing. Lebih tepatnya, kesibukan Kuanlin yang tidak bisa diprediksi.

Setidaknya, hubungan mereka menunjukkan kemajuan, bukan?

Kuanlin sendiri sudah beberapa kali mengatakan secara gamblang pada Jihoon jika ia mencintai Jihoon –dijawab dengan perkataan 'Aku juga' yang dikatakan oleh Jihoon dengan malu-malu melalui sambungan telepon.

Aih, dua orang itu memang sama-sama jatuh cinta.

Dan sejak saat itu, pikiran Kuanlin selalu dipenuhi dengan Jihoon –Jihoon akan muncul di dalam pikirannya jika ia sudah selesai dengan semua pekerjaan dan kewajibannya. Kuanlin akan memilih untuk memikirkan Jihoon lama-lama, daripada melakukan hal lainnya.

Hanya ada dua hal dalam hidupnya sekarang. Pekerjaan dan Park Jihoon.

Beruntung, si workaholic itu masih tahu bagaimana cara memisahkan antara pekerjaannya dengan Park Jihoon. Jika dua hal itu saling tercampur, bisa fatal akibatnya.

Woojin dan Minhyun –dua rekannya sendiri acapkali bertanya-tanya, apa yang dibicarakan oleh Jihoon dan Kuanlin melalui pesan teks hingga Lai Kuanlin seringkali cekikikan sendiri ketika menatap layar ponselnya. Lai Kuanlin –lelaki yang dikenal datar, dingin, dan profesional itu bagaikan anak kecil jika ia sudah berhadapan dengan Park Jihoon yang usianya memang jauh lebih muda daripada dirinya.

Seperti halnya sekarang ini. Kuanlin sedang tersenyum lebar saat menatap layar ponselnya –diikuti tatapan heran dari kedua rekannya, Park Woojin dan Hwang Minhyun yang kini masih menyantap makan siang mereka.

"Makan dulu makananmu," Minhyun menyenggol Kuanlin.

"Iya, makan dulu makananmu. Nanti bukannya kau punya jadwal operasi? Transplantasi hati, benar? Kau harus makan supaya konsentrasi," Woojin menaruh sebuah telur gulung di atas piring Kuanlin. Lelaki jangkung itu mengangguk, mengetikkan sesuatu di ponselnya lalu memilih untuk mematikan ponselnya.

"Sudah pamit dengan Jihoon?" goda Minhyun, diiringi dengan kekehan di akhir kalimatnya.

Kuanlin mengangguk. "Ya, aku sudah bilang padanya kalau aku tidak bisa menghubunginya nanti malam,"

"Oww, Kuanlin-ku sudah besar," Woojin mengacak rambut Kuanlin sambil tertawa. "Akhirnya, selama bertahun-tahun kau bermesraan dengan stethoscope, dan jurnal-jurnal ilmiah, kali ini aku bisa melihatmu bermesraan dengan seseorang,"

Kuanlin berdecih. "Dasar Woojin,"

"Kau seharusnya berterima kasih padaku karena aku sudah mempertemukanmu dengan Jihoon beberapa bulan yang lalu. Jika saja saat itu kau menolak ajakanku, kau pasti tidak akan bertemu dengan Jihoon. Untungnya Kuanlin-ku adalah anak yang penurut," kekeh Woojin.

"Iya, iya. Aku bisa bertemu dengan Jihoon –semuanya karenamu,"

"Tentu. Aku memang berjasa dalam hidupmu. Jadi, jangan abaikan aku,"

Minhyun hanya bisa terkekeh melihat interaksi Kuanlin dan Woojin. Keduanya adalah sepasang sahabat dengan sifat yang benar-benar bertolak belakang. Kuanlin adalah seseorang yang serius, dingin, kalem. Ia jarang menunjukkan senyumannya –kecuali pada pasien dan keluarga pasien. Jika sudah di luar tempat kerja, ia akan menjadi sosok Kuanlin yang sebenarnya.

989 Monete ; panwink ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang