Bab 40 : Epilog (2)

1.5K 156 26
                                    

Pertama, saya ingin mengucapkan selamat ulang tahun, Park Jihoon! Chapter ini sekaligus chapter spesial untuk merayakan ulang tahunnya Jihoon, nih.

Air mata mengalir dari pelupuk mata Jihoon. Ia tak menyangka, orang yang dicintainya selama dua tahun ini akan menikah tiga bulan lagi. Parahnya, ia jauh-jauh datang dari Korea hanya untuk mengundangnya datang ke pernikahannya. Jihoon berusaha untuk menyeka air matanya yang mengalir semakin deras, bahkan hidungnya sudah mulai memerah. Jihoon mengangkat kepalanya, menatap Kuanlin yang kini tampak panik ketika melihat Jihoon menangis.

Lalu, apa maksudnya ciuman dan semua panggilan sayang yang dia lontarkan di Trevi pagi tadi?

"Begitu? Kalau begitu, di mana kalian akan menikah? Biar aku segera siapkan tiket untuk pergi ke Seoul," ucap Jihoon, dengan suara tercekat. Jemarinya merogoh saku celananya, hendak mengambil ponselnya yang berada di sana sejak tadi.

Pikirannya melayang kemana-mana. Dia tidak bisa berpikir dengan jernih, otaknya seakan berhenti ketika mendengar penuturan Kuanlin barusan. Sebuah penolakan baru saja dia dapatkan dari seseorang yang sudah dia tunggu selama bertahun-tahun lamanya. Mungkin memang seharusnya dia mencari cinta yang baru seperti apa yang dikatakan oleh Euiwoong minggu lampau.

"Tentu, Ji. Kau harus datang ke Seoul, ke pernikahanku".

Dia mendaratkan telapak tangannya di kepala Jihoon, mengusak rambut lembut milik Jihoon dengan menyunggingkan seulas senyuman. Dia tidak mengerti jika Jihoon sedang menahan air matanya supaya tidak meluncur bebas. Dia tidak mengerti bagaimana Jihoon bersikeras menahan perasaan menggebu untuk mendaratkan telapak tangannya menampar pipi Kuanlin karena dia merusak semua pertahanannya dalam sekejap.

"Iya, Lin. Kalau begitu, selamat ya. Semoga kamu bahagia dengan pasanganmu. Untuk masalah foto itu –abaikan saja. Aku akan membuangnya nanti", ucap Jihoon –dengan nada yang bergetar.

"Terima kasih, Ji. Aku yakin, aku akan bahagia dengan pasanganku nanti. Aku sendiri sudah berjanji –aku akan membahagiakan pasanganku nanti", jawab Kuanlin, perlahan mengusap pipi Jihoon dengan lembut. Membuat Jihoon semakin menunduk –terbenam dalam pemikirannya sendiri. Berusaha menepis perasaan berdesir saat dia merasakan jemari lembut Kuanlin mengusap pipinya.

Sentuhan itu –dia merindukan semua sentuhan yang dulu kerap diberikan oleh Kuanlin padanya. Dia merindukan momen ketika Kuanlin merengkuhnya –menarik dirinya ke dalam pelukannya ketika dia sedang merasa semua berjalan tak baik-baik saja. Dia merindukan semua momen itu meski dua tahun sudah berlalu sejak terakhir kali dia bertemu dengan Kuanlin di pesta pernikahan Woojin dan Hyungseob yang berakhir chaos.

Dia tidak bisa membayangkan Kuanlin akan memberikan seluruh perhatiannya pada pasangannya nanti.

Meskipun dia mampu berkata jika dia tidak rela Kuanlin bersama dengan yang lain, semua itu tidak akan merubah kenyataan yang terjadi, bukan? Meskipun dia mengatakannya pada Kuanlin jika dia belum mampu melihat Kuanlin berjalan di altar dengan orang lain, itu tidak akan merubah realita jika Kuanlin memang sudah menyiapkan pernikahan dengan orang lain.

"Kenapa diam, Ji?"

Jihoon mengangkat wajahnya ketika dia mendengar ucapan Kuanlin. Matanya memanas ketika melihat wajah Kuanlin yang menyejukkan jiwa. Dia ingin menangis. Figur yang dia rindukan sejak lama –tetap saja tidak bisa dia raih. Tetap saja tetap bisa dia miliki meski dia sudah mengeluarkan berliter-liter air mata.

"Tidak apa-apa, Lin. Aku merasa bahagia karena kau sudah bertemu dengan orang yang mampu membuatmu bahagia. Pernikahan kalian pasti akan indah. Dia yang menjadi pendampingmu nanti pasti sangat bahagia. Dia beruntung bisa mendapatkanmu", tutur Jihoon dengan seulas senyuman –pedih.

989 Monete ; panwink ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang