Bab 35 : Isi Hati Kuanlin ; 1

860 126 23
                                    

« Chapter ini mengandung kilas balik dari sudut pandang Kuanlin, sekiranya harap dipahami »

❝ Dan dari sini, semuanya berawal ❞.

Dia menatap langit senja yang berwarna oranye kemerahan. Di sampingnya ada seorang perempuan yang memegang gelas kopi, berasal dari kertas. Keduanya menatap langit sambil terdiam, terhanyut dalam pikirannya masing-masing.

Sampai akhirnya salah satu dari mereka mulai membuka suaranya, sesaat menatap gadis di sampingnya yang menunggunya menyelesaikan kalimatnya.

"Aku mencintai Jihoon dengan sangat. Aku tak ingin kehilangan dirinya -aku tak ingin lagi kembali ditinggalkan oleh orang yang kusayangi".

Gadis di sampingnya menyimak perkataan lelaki tadi dengan seksama. Dia menyesap kopinya sejenak sebelum lelaki di sampingnya menyelesaikan kalimatnya. Dia tak mengerti entah dari mana lelaki itu tiba-tiba saja berkata jika dia tak ingin kehilangan kekasihnya.

Yah, dia memang selalu menjadi tempat curhat dari seorang lelaki bermarga Lai tersebut. Sejak dulu, dia akan menampung semua cerita dari seorang Lai Kuanlin. Mungkin alasan Kuanlin menceritakan semua yang terjadi padanya ke gadis itu karena hanya dia yang mengerti jika lelaki itu mengidap Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Tapi, semua orang tak sebaik itu.

"Kau betulan mencintainya?"

"Hm, tentu".

"Kalau begitu, hal yang harus kau lakukan adalah meninggalkannya. Kau tak bisa berada di dekatnya terus menerus".

Lelaki itu membulatkan matanya begitu dia mendengar ucapan gadis di sampingnya yang kini menatap lurus ke arah gedung pencakar langit yang masih menunjukkan aktifitasnya di sore hari ini. Dia terkejut dengan respon yang baru saja diberikan sang Psikiater itu. Biasanya dia akan memberikan saran supaya dia tetap berada di tempatnya, tak bergerak.

"Kenapa aku harus meninggalkannya?"

"Dia -Park Jihoon akan terus menderita jika dia bersama denganmu".

"Kenapa? Aku bahkan tak menyakitinya! Kenapa dia menderita jika bersama denganku?"

"Kau tak tahu? Dia selalu ingin bunuh diri".

Sang Dokter membulatkan matanya, mendapatkan jawaban yang benar-benar di luar ekspektasinya. Dia menatap sang psikiatris, menuntut kelanjutan atas pernyataan yang barusan dilontarkan oleh gadis itu. Tanpa dia sadari, tangannya mulai gemetar.

"Dia tak pernah bilang padamu memangnya? Dia selalu datang ke klinik milikku setiap hari Selasa dan Jumat. Dia melakukan terapi denganku sejak beberapa bulan yang lalu", gadis itu mengaduk kopi di tangannya.

Dia mengangkat wajahnya, menoleh ke arah sang Dokter bermarga Lai itu. Sedikit menarik sudut bibirnya -puas karena dia sudah melakukan apa yang ingin ia lakukan sejak beberapa waktu yang lalu. Dia menunggu apa yang akan dikatakan oleh lelaki yang lebih muda beberapa bulan darinya itu.

"Dia tak pernah mengatakan apapun padaku..", gumam sang Dokter pelan, tapi cukup keras untuk didengar oleh gadis di sampingnya.

"Karena dia tak butuh dirimu untuk mengetahui keadaannya yang sebenarnya. Begitu katanya waktu itu", jawab Jieqiong sesaat sebelum dia menyesap kopinya lagi.

"Tapi aku seharusnya tahu. Aku kekasihnya, kenapa dia tak ingin memberitahuku? Aku -ingin menolongnya".

"Satu-satunya cara yang bisa kau lakukan untuk menolong dirinya dan dirimu adalah meninggalkannya, Lai Kuanlin".

989 Monete ; panwink ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang