6

22.4K 727 42
                                    

Rani yang lemas berjalan dengan dipapah oleh Rafiq menuju ruang makan.

Kevin dan Alea terlihat bingung melihat Rani yang dipapah oleh pria tampan itu lagi. Berbagai pertanyaan berkelebat dalam benak mereka.

"Maaf, mengganggu makan kalian." Ucap Rani dengan lirih. Dia masih merasa lemas dan sedikit pusing.

"Lo sakit apa, Ran?" Tanya Kevin.

Rani duduk kembali di kursi makan sebelum menjawab pertanyaan Kevin. "Gue gak apa-apa kok. Cuma masuk angin aja kali." Jawabnya lirih.

"Kalau gitu lo istirahat aja. Kami pulang dulu." Ucap Alea prihatin melihat sahabatnya yang terlihat pucat.

"Iya, kami pulang dulu. Makasih ya jamuannya. Sumpah! Indomie buatan pembokat lo enak banget...aawww.." Kevin meringis karena kepalanya digetok oleh Alea.

"Bikin malu aja, lo. Kami permisi pulang ya, Ran, Om." Alea pun menarik tangan Kevin menuju pintu keluar.

"Hmmm."

"Kakak Ipar, Rani gak selera makan, masih mual." Ucap Rani yang menyandarkan tubuhnya di kursi dengan mata terpejam dan wajah pucat. Dahinya tampak berkeringat.

Rafiq mengambil sapu tangannya dan mengelap keringat di dahi Rani.

"Kamu harus makan. Anak saya nanti kelaparan di dalam sana." UJar Rafiq tegas tak ingin dibantah.

Rani membuka matanya dan terpesona melihat wajah tampan kakak iparnya yang sangat dekat dengannya. Tiba-tiba jantungnyapun berdegup kencang. Astagaa...sadar Rani, dia suami kakak kamu. Rani jadi gugup berada sedekat ini dengan Rafiq.

Ughh...ada apa dengan dirinya? Kenapa belakangan ini dia selalu deg deg an kalau berdekatan dengan kakak iparnya? Ahh...mungkin karena hormon kehamilan, tepis Rani.

"Kenapa kakak ipar sudah pulang?" Tanyanya untuk menutupi kegugupannya.

"Mau lihat keadaan kamu. Jangan makan makanan yang gak bergizi apalagi mie instant. Saya gak mau nanti anak saya kenapa-napa. Paham?"

Rani masih gugup karena wajah Rafiq masih sangat dekat hingga dia hanya mampu mengangguk saja. Wajahnyapun terasa panas melihat perhatian Rafiq kepadanya, lebih tepatnya kepada anak dalam kandungannya sih.

"Sekarang makan." Perintah Rafiq sambil mengulurkan sendok ke mulut Rani.

Dengan ragu Rani membuka mulutnya. Mulutnya yang biasa terasa pahit kalau makan dan tidak selera makan, tiba-tiba merasa kalau makanan yang disuapkan Rafiq terasa enak. Tak terasa makanan di piringnya tandas.

"Mau tambah."

"Enggak. Udah kenyang kok."

"Nggak mual lagi?"

"Hmmm." Rani meniru ucapan yang sering diucapkan Rafiq. Sekilas Rani melihat kilat jenaka di mata Rafiq, tapi hanya sebentar. Ckk, rasanya pingin sakali dia mendengar tawa kakak iparnya ini. Ihhh...ketawa napa kakak ipar. Anak kamu nih yang mau dengar tawa kamu. Bayangkan saja, selama dua tahun tinggal satu rumah, belum pernah sekalipun dia melihat iparnya itu tertawa. Padahal dulu awal mereka berkenalan, Kakak Iparnya ini suka tertawa geli kalau berbicara dengannya. Kenapa sekarang jadi lain sejak nikah sama Kak Nabila?

Rafiq berdiri dari kursi dan meninggalkan Rani. Sementara Rani tiba-tiba merasa kesal karena ditinggal begitu saja oleh Rafiq. Entah kenapa dia jadi kesal, dia jadi bingung sendiri memikirkannya. Rasanya dia ingin diperhatikan terus oleh iparnya itu. Ohh...yang benar saja.

Hhhh....lebih baik aku tidur saja.

Rani pun masuk ke kamar yang berada di sebelah kamar kakaknya yang ada di lantai bawah. Biasanya dia tidur di lantai atas, tapi sejak dia dinyatakan hamil, Rani disuruh Rafiq pindah ke kamar bawah untuk menjaga keselamatannya.

Ketika Rani akan masuk ke kamarnya, pintu kamar kakaknya terbuka, dan di sana dilihatnya Rafiq yang keluar dari kamar mengenakan baju kaos dan celana pendek selutut. Loh, apa kakak iparnya gak balik ke kantor?

Rafiq melewati Rani tanpa menegurnya sama sekali. Rani jadi semakin kesal hingga dia tanpa sengaja membanting pintu kamar dengan keras kemudian menangis dibalik pintu. Dia sendiri gak tahu kenapa dia begitu. Rasanya sesak sekali dadanya karena ingin dekat dengan ayah dari anak yang ada dalam kandungannya.

Rani berjalan ke tempat tidur dan merebahkan dirinya. Berharap dia bisa langsung terlelap supaya pikirannya tidak kacau.

***

Tak terasa kehamilan Rani sudah masuk bulan kedua.

"Rani, bangun."

Dengan perlahan Rani membuka matanya. "Ada apa, Kak." Gumamnya dengan suara serak.

"Sudah mau maghrib. Ayo sholat dulu."

"Iya, Kak." Rani pun bangkit dari tidurnya menuju ke kamar mandi. Saat keluar dari kamar mandi ternyata kakaknya sudah tidak ada. Rani pun segera melaksanakan sholat maghrib. Setelah itu dia keluar kamar. Namun di luar tampak sepi. Tidak ada kakaknya yang biasanya nonton tv sehabis maghrib.

Rani jadi lesu karena merasa bosan dan kesepian.

"Rani, ayo makan, ini sudah kakak masakkan makanan kesukaan kamu. Selama hamil kamu gak usah masak dulu ya." Ucap  Nabila yang tahu-tahu saja sudah berada di ruang makan dan sedang menata meja. Selama ini memang Rani lah yang selalu masak di rumah, dibantu oleh Bibik. Itu dilakukannya sejak dia sudah SMP, untuk meringankan beban kakaknya yang lelah sepulang kerja.

Rani pun mendekati kakaknya dengan senyum lebar. "Masak apa, Kak."

"Sup ayam kampung."

"Woww...kayaknya enak nih."

"Kamu harus banyak makan sayur yang berkuah gini supaya asi kamu nanti banyak. Buah-buahan juga."

Rani duduk di kursi makan. "Kakak ipar mana?"

"Lagi keluar kota. Mungkin besok pagi baru pulang."

"Ohh. Eh, Kak. Kakak apa gak cemburu sama Kakak ipar. Di kantornyakan banyak cewek cantik. Apalagi para pramugari pesawatnya."

"Ya cemburu juga sih kalau pas lihat para wanita itu ngelihatin suami kakak sampai gimanaaa gitu. Tapi kakak percaya kok, Mas Rafiq itu bukan playboy."

"Ya jelas itu kak. Mukanya saja buat cewek-cewek jadi takut gitu sama dia. Ya gak bisa leboylah....hahahaha."

"Kamu ini. Gak sopan jelekin kakak ipar sendiri." Rani hanya cengengesan mendapat teguran dari kakaknya. Ughh...kakaknya ini baik sekali jadi orang.

Setelah selesai makan mereka menonton tv.

Tiba-tiba Rani ingin makan sate madura. "Kak, Rani pingin sate madura."

Nabila tersenyum mendengar keinginan adiknya. "Kamu ngidam ya, Sayang. Ini pasti permintaan baby ya." Ucap Nabila seraya mengusap perut adiknya.

"Iya kali, Kak. Bilang sama Mang Udin beli sate ya, Kak."

"Sudah pukul sembilan ini. Mungkin Mang Udin sudah tidur. Biar kakak saja yang pergi."

Entah kenapa Rani tiba-tiba takut kalau kakaknya pergi. "Jangan, Kak. Ini sudah malam sekali. Gak jadi aja deh."

"Gak apa-apa. Lagian dekat tukang sate maduranya. Cuma di seberang rumah. Kamu tenang saja. Kakak gak mau ya kalau nanti anak kakak ileran gara-gara ada yang gak terpenuhi keinginannya."

"Tapi kak...."

"Ckk, udah...kakak pergi dulu."

Rani akhirnya mengalah dan membiarkan kakaknya pergi. Namun entah mengapa dadanya berdebar sangat kencang. Rani mengikuti kakaknya hingga pintu depan dan melihat kakaknya yang sedang menyeberang jalanan yang sepi. Tapi tiba-tiba dia melihat sebuah mobil melaju kencang menuju ke arah kakaknya, Rani pun berteriak dan tanpa sadar berlari mengejar kakaknya. Saat mobil semakin dekat, Rani berhasil menarik kakaknya ke tepi jalan hingga dia hampir terjatuh ke aspal, namun sebuah tangan memeluk dan menyanggah tubuhnya hingga dia dan kakaknya tak jatuh ke aspal.

================

09072019

SURROGATE MOTHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang