17

18.4K 992 65
                                    

Rafiq sudah meninggalkan rumah lima belas menit yang lalu. Tapi tak lama setelah itu terdengar suara mobil masuk ke halaman. Rani mengira mungkin Rafiq kembali karena ada yang tertinggal.

Rani tiba di teras dengan senyum lebar. Tapi senyumnya pudar saat melihat siapa yang datang. Bukan dia tidak suka di datangi orang tersebut, karena dia juga sudah merindukannya. Tapi dia cukup kaget juga.

"Kak Nabila? Kok gak bilang kalau mau datang."

Wajah Nabila tampak ketus. "Hai, Dek. Kau kelihatan sehat."

Rani hendak memeluk Nabila yang pucat. Tapi Nabila menghindar. Dia langsung masuk ke rumah. Rani pun mengikutinya dari belakang. Dia merasa heran dengan sikap Nabila yang dingin.

Nabila duduk di sofa ruang tv dan matanya memandang keliling Vila yang ditinggali Rani. Wajahnya tampak kesal.

"Kakak mau minum apa?"

"Kelihatannya kau sudah seperti Nyonya rumah ini, Dek."

Rani jadi merasa tidak enak diingatkan, seolah Rani harus sadar jika Nabila lah si Nyonya rumah, karena apa yang dimiliki Rafiq pasti juga miliknya.

"Maaf, Kak. Rani hanya gak tega lihat Kakak pucat."

Nabila menghela nafas. "Rani, Kakak gak bisa lama-lama di sini. Langsung saja. Kakak harap kamu melarang Rafiq menemuimu setiap hari."

Rani terperangah. Bagaimana Kakaknya tahu kalau Rafiq setiap hari ke sini?

Seolah tahu apa yang dipikirkan Rani, Nabila berkata, "Kakak tahu kalau setiap hari Rafiq menemuimu. Karena setiap hari dia selalu pulang larut malam dan dalam keadaan kelelahan. Bahkan dia tidak bisa memperhatikan Kakak lagi yang sangat membutuhkannya."

"Kakak, maaf." Ucap Rani lirih dan menundukkan wajahnya. Ternyata selama dua bulan ini, Kakaknya menderita. Alangkah jahatnya dia.

"Kau tahu kan, kalau kehamilan Kakak lemah? Apa kau sampai hati kalau kandungan Kakak keguguran lagi karena stres memikirkan suami Kakak yang malah lebih peduli dengan adik iparnya daripada istrinya sendiri?"

Rani menatap nanar ke wajah Nabila yang terlihat sangat marah. Tentu saja dia tidak mau Kakaknya keguguran. Dia tidak sejahat itu.

"Tidak, Kak. Rani malah ingin sekali melihat keponakan Rani. Sungguh, Kak."

"Kalau gitu, usahakan Rafiq tidak menemuimu lagi."

Dengan menahan air mata yang hampir tumpah, Rani mengangguk, mengiyakan permintaan Nabila.

"Kakak pulang. Jaga dirimu."

Tanpa menunggu jawaban dari Rani, Nabila meninggalkan Vila.

Rani yang dari tadi berdiri langsung terhenyak ke sofa. Air matanya akhirnya runtuh tak dapat ditahan.

Kenapa sekarang seakan dia yang salah? Bukankah kehamilannya ini untuk kebahagiaan rumah tangga kakaknya? Dia hanya bermaksud membantu. Dia juga tidak bermaksud merebut suami kakaknya.

Jadi, apa aku harus pergi saja. Tapi aku gak punya uang sama sekali. Mau pergi kemana pun aku gak tahu. Ucap Rani pada diri sendiri.

Baiklah, aku akan mengatakan kepada Rafiq supaya dia tidak usah datang lagi ke sini. Mungkin itu memang lebih baik. Putus Rani.

Tapi ternyata itu tidak perlu dikatakan Rani, karena ternyata sudah seminggu Rafiq tidak pernah datang lagi ke Vila. Bahkan mengabarinya saja tidak. Dia ingin menelepon juga tidak berani. Rani jadi sedih dan bingung. Untunglah kegiatan mendekorasi kamar anaknya bisa melupakan kesedihannya sejenak. Dan sekarang kamar calon anaknya sudah selesai.

SURROGATE MOTHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang