7

21K 737 39
                                    

"APA YANG KALIAN LAKUKAN MALAM-MALAM GINI!"

Wajah Nabila yang sudah pucat karena kaget hampir ditabrak mobil, semakin bertambah pucat. Dia sampai tak bisa menjawab pertanyaan dari orang yang menyelamatkan mereka yang ternyata adalah suaminya, yang bernada bentakan itu.

Sedangkan Rani yang sudah lebih tenang duluan, menjawab ucapan kakak iparnya. "Jangan salahkan Kak Nabila. Ini salah Rani, tadi Rani yang minta Kak Nabila beliin sate."

"Tapi kamu sudah membahayakan kandunganmu tadi!" Ucap Rafiq masih dengan nada keras walau tak sekeras tadi. Tangan Rafiq tampak terkepal seolah menahan gejolak di dadanya.

"Trus, Rani harus nonton saja melihat Kak Nabila ditabrak, gitu!" Rani mulai kesal. Jangan harap Rani akan diam saja dibentaki orang. Dia bukan Nabila yang tenang dan sabar.

"Sudah...sudah...ayo kita masuk. Gak enak dilihat orang kita bertengkar di jalan." Nabila berusaha menengahi pertengkaran adik dan suaminya.

Walaupun masih tampak kesal, namun Rafiq memilih masuk ke dalam rumah meninggalkan dua wanita cantik itu di belakangnya.

Rafiq dan Nabila duduk di ruang tv, sedangkan Rani terus berjalan masuk ke kamarnya. Wajah Rafiq masih mengeras karena insiden tadi.

"Mas kok pulang cepat? Gak jadi nginap di Bandung?" Tanya Nabila lembut. Dia tahu suaminya sedang sangat marah saat ini.

Tiba-tiba Rafiq berdiri tanpa menjawab pertanyaan Nabila, kemudian berkata, "Kita ke dokter sekarang juga. Suruh Rani siap-siap."

Nabila menghela nafas, dan tanpa membantah langsung berjalan ke kamar Rani.

Nabila mengetuk pintu kamar Rani kemudian membuka pintunya. Dilihatnya adiknya sedang menyisir rambut di depan meja rias. Sepertinya bersiap-siap tidur karena Rani sudah mengganti pakaiannya dengan piama.

Nabila mengambil sisir dari tangan adiknya kemudian menyisir rambut Rani dengan kasih sayang. "Kamu ganti baju ya. Masmu mau bawa kamu ke rumah sakit."

Rani menatap wajah lembut kakaknya dengan heran. "Mau ngapain, Kak. Bukannya kemarin baru periksa."

"Sudahlah. Turuti saja apa mau Masmu. Kakak tunggu di luar ya."

Tanpa berani membantah kakaknya, Rani pun dengan kesal mengganti kembali pakaiannya.

Rani keluar kamar, berjalan menuju ruang keluarga. Di sana dilihatnya Nabila dan Rafiq sudah menunggunya.

"Kakak Ipar. Rani tuh baik-baik saja. Untuk apa kita ke dokter."

Tanpa menjawab pertanyaan Rani, Rafiq membalikkan badannya dan berjalan keluar rumah, maka terpaksa kedua kakak beradik itu mengikuti. Rani berjalan sambil mendumel karena kesal.

Di ruang dokter.

"Gimana, Dok. Apakah dia dan bayinya baik-baik saja?" Tanya Rafiq.

Ckk. Dia..dia..emang gue gak punya nama apa? Kayak gak kenal aja nyebut gue dia. Dumel Rani kesal.

Dokter Rahma tersenyum. "Oh, mereka baik kok."

Nabila tampak lega mendengar jawaban dokter Rahma. Rafiq tetap dengan wajah datarnya. Sedangkan Rani dengan wajah bosannya.

"Tapi lain kali harus lebih hati-hati ya."

"Baik, terima kasih dokter." Jawab Rani dan Nabila.

Mereka bertiga pun keluar dari ruangan.

Sesampainya di rumah, Rafiq langsung berjalan ke dapur dan mengambil kaleng susu untuk ibu hamil dan gelas. Dengan cekatan dia membuat susu, kemudian berjalan keluar dan memberikannya kepada Rani yang sedang duduk di samping Nabila dengan wajah cemberut.

"Nih, minum." Ucap Rafiq seraya menyodorkan gelas berisi susu itu.

Rani pura-pura gak dengar dan sama sekali tak mau mengambil gelas susu itu karena masih kesal. Entah kenapa dia kesal sekali sama kakak iparnya sejak dibentak tadi.

"Rani sayang, ayo minum susunya. Mas mu udah repot-repot buatin loh." Bujuk Nabila.

Tapi Rani malah memanyunkan mulutnya. "Gak mau. Minum aja sendiri." Terserah deh mau dibilang kekanakkan. Tapi gue lagi kesel pokoknya.

Nabila tertawa kecil melihat tingkah kekanakkan adiknya itu. "Ya ampun, Dek. Kamu jangan egois dong. Kasihan sama anak kamu. Udah mau punya anak kok sikap masih kayak anak-anak sih."

"Biarin. Rani memang masih anak-anak. Pokoknya Kakak Ipar harus minta maaf dulu ke Rani dan Kak Nabila karena udah bentak kita tadi. Rani gak suka."

"Rani...."

Namun ucapan Nabila dipotong oleh Rafiq. "Maafkan, Saya."

Nabila tampak terkejut mendengar ucapan maaf yang keluar dari mulut suaminya. Dia sama sekali tidak menyangka, suaminya yang keras kepala dan selalu merasa benar sendiri itu mau meminta maaf. Sedangkan kepadanya saja Rafiq gak pernah minta maaf walau sudah sering mengecewakannya, misalnya janji mau mengajaknya makan malam atau menjemputnya, namun tak pernah menepati janjinya. Dan tidak pernah keluar kata maaf kepadanya. Namun kini, hanya karena Rani merajuk, dengan mudah suaminya itu meminta maaf. Apa ini karena Rani mengandung anaknya?

Rani tersenyum, "Maaf diterima." Dan Rani pun langsung mengambil gelas dari tangan Rafiq dan meminumnya dengan cepat. Kemudian menyerahkannya lagi ke Rafiq. "Good night....see you tomorrow."

Kemudian Rani meninggalkan Rafiq dan Nabila. Tanpa diketahui Rafiq, Nabila melihat mata suaminya mengikuti Rani hingga menghilang dari balik pintu kamar. Jantungnya serasa diremas. Dia jadi cemas.

Bagaimana jika adiknya sudah melahirkan? Apakah Rafiq akan berpaling darinya? Apalagi jika dia benar-benar tidak bisa memberikan keturunan buat Rafiq. Nabila jadi sedih membayangkannya.

================

27092019

Semoga pada bahagia membaca ceritaku ini ya 😀

SURROGATE MOTHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang