Chapter 9

455 129 20
                                    

Benci sebenarnya untuk mengungkapkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Benci sebenarnya untuk mengungkapkan. Sebab pemuda yang merangkul Yessa itu adalah musuhnya sejak ia sekolah dasar. Hoseok bahkan masih ingat bagaimana pemuda bermarga Kim itu memasukkan dedaunan kering dan sampah plastik bekas minuman ke dalam tasnya. Heck, memangnya tas Hoseok tempat sampah, ya? Konyol.

Kala itu mungkin ia hanya bisa cuek dan mengadu pada guru secara diam-diam. Pulang mengayuh sepeda kecil dengan mata yang memerah. Dan jika mama bertanya kenapa dengannya, Hoseok akan menjawab singkat, "Tadi mataku kemasukkan lebah."

Mama hanya bisa menggelengkan kepalanya. Menatap sang buah hati yang tengah meniti anak tangga dengan hati-hati. Sedikit ingin tertawa, sebab melihat bagaimana tas punggung yang mana kenyataannya lebih besar dari tubuh Hoseok bergoyang ke kanan dan ke kiri, menimbulkan lampu-lampu kecil yang menghiasi di sekitar resleting menyala dengan warna yang berkerlap-kerlip.

Tapi rasanya untuk sekarang, Hoseok bahkan bisa meninju wajah Taehyung hingga menimbulkan ruam di bagian pelipis. Hanya saja ia terlalu takut dengan reaksi mama jikalau ia memukul teman satu sekolah. Dan juga tidak menutup kemungkinan Yessa akan membencinya. Mengingat bagaimana rangkulan itu melingkar di bahu Yessa, pastinya Taehyung adalah orang yang cukup berharga bagi gadis itu.

Tentu Hoseok tidak mau ambil pusing. Ia hanya akan diam saja. Mengamati sejauh mana Taehyung akan menggodanya seperti tadi.

Kayuhan sepedanya mulai melambat kala menuju jalanan menanjak, kawanan burung camar yang terbang di atas kepala serta sinar mentari yang berwarna kemerah-merahan seakan menggiringnya pulang menuju rumah.

Indah. Namun, ada sebagian dari hatinya mengatakan bahwa ia harus membenci situasi seperti ini. Sebab, hal seperti ini hanya akan mengingatkannya tentang satu orang. Dawoon. Kakak perempuannya yang dulu pernah tinggal bersama Hoseok dan mama. Namun, setelah ia memutuskan untuk merantau di negeri orang, semuanya tiba-tiba berantakan. Kacau balau.

Hati Hoseok mendadak diserang rasa gelisah. Takut juga. Sebab orang yang ada dipikirannya tengah berada di pekarangan rumah. Duduk bersantai di teras rumah dengan Mama yang sedang merajut.

"Lihat, adikmu datang."

Itu mama. Jari telunjuknya diarahkan pada Hoseok yang kini tengah memarkirkan sepeda miliknya di dalam garasi. Sedangkan Dawoon tersenyum senang, bahagia karena bisa bertemu dengan adiknya lagi.

Tidak dengan Hoseok. Pemuda itu bahkan malas sekali rasanya untuk bertatap wajah. Tapi ia tahu bahwa Mama bisa marah besar padanya jika berlaku acuh pada Dawoon. Jadi, Hoseok hanya melangkah lambat menuju teras. Kepalanya ia tundukkan agar tidak bersitatap dengan perempuan yang empat tahun lebih tua darinya.

"Kenapa mendunduk? Kakakmu datang jauh-jauh dari Mexico hanya untuk bertemu dengan kita." Mama menatap anak laki-lakinya dengan tidak senang. "Dimana letak sopan santunmu?"

Helaan napas berat keluar dari mulut Hoseok. Malas sekali rasanya untuk beradu mulut dengan mama. Diangkatnya wajah lesu miliknya dan diarahkan pada Dawoon yang sedang menatapnya khawatir.

"Tidak usah bersikap sok khawatir padaku! Bukankah sudah kubilang untuk tidak usah kembali lagi?"

Suara Hoseok meninggi. Mama yang tersulut emosi langsung menjawab tak kalah nyaring, "Hoseok! Mama tidak pernah mengajarkanmu untuk bertindak tidak sopan pada kakakmu!"

Memutar bola matanya jengah, Hoseok kali ini balas menjawab sebelum masuk ke dalam rumah dan membanting pintu, "Apakah aku harus bersikap sopan dengan orang yang sudah membunuh ayah?"

Undelivered | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang