Chapter 15

376 115 10
                                    

Hoseok diam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hoseok diam. Sesekali irisnya menerawang ke arah pekarangan rumah yang kini dihiasi rumput yang memanjang. Dawoon telah meninggal tiga hari yang lalu. Semuanya berubah. Entah disadari atau tidak, Hoseok juga merasa sedikit kecewa dengan dirinya sendiri. Mengingat bagaimana ia yang begitu enggan untuk sekadar bertegur sapa dengan sang kakak.

Tangisan mama yang ia dengar kala hendak tidur, membuat Hoseok mengurungkan niatnya untuk terlelap. Suaranya begitu memilukan. Seolah-olah juga berusaha menarik Hoseok ke dalam lubang penyesalan.

Hoseok tidak sekolah hari ini. Lebih tepatnya ia tidak bisa. Sebab ia juga harus menjaga mama yang akhir-akhir ini bersikap tempramen. Terkadang beliau tertawa, terkadang juga berteriak meneriakan nama Dawoon, tak berselang lama, beliau menangis. Hoseok jadi dibuat bingung sendiri. Sampai kapan Mama akan seperti ini?

Terkadang Hoseok hanya bisa tersenyum miris kala kedua irisnya menemukan presensi Bibi Kim di dekat pagar, memandang sayu dengan sudut bibir yang ditarik ke atas. Hoseok tahu maksud dari senyuman itu. Senyuman yang seolah-olah mengirimkan sejuta rasa simpati ke dalam lubuk hati Hoseok.

"Ma, makan yuk."

Hoseok membuka kamar milik mama. Sejenak ia menahan napas tatkala melihat pemandangan yang membuat matanya ingin memejam dengan erat. Ini tidak bisa disebut kamar, lebih pantas disebut gudang. Bahkan baru tiga hari berlalu dan keadaan kamar mama seperti baru saja diserang badai.

Langkah demi langkah perlahan Hoseok ambil, mendekat ke arah mama yang sedang duduk di atas ranjang sembari menatap keluar jendela. Memandang kosong pekarangan hijau yang mungkin di dalam khayalannya ia sedang melihat Dawoon melambaikan tangan-sebab selang berapa detik Hoseok duduk di sisinya, mama malah mengangkat tangan dan tersenyum senang.

Eh, benarkah?

Benarkah jika sosok yang di pekarangan rumah sana hanya ada di khayalan Mama?

Lantas jika itu memang hanya khayalan mama semata, kenapa bisa ada sosok perempuan di depan sana dengan sekantong buah jeruk di tangan kanan yang dapat Hoseok tangkap dengan kedua mata telanjangnya? Sial, Hoseok bisa gila jika arwah Dawoon kembali ke dunia dan menghantuinya secara perlahan.

"Ma, jangan bilang dia hantu."

Hoseok. Dari dulu pun ia memang sudah penakut. Terlebih yang dengan namanya hantu-ketakutan keduanya setelah serangga. Antara ular dan guling saja, ia lebih memilih ular. Sebab Hoseok berkali-kali memimpikan bahwa guling yang dipeluk berubah menjadi sosok hantu dengan kain putih.

"Mamaaa!"

Hoseok kembali meringsut ke punggung Mama. Menenggelamkan separuh tubuhnya yang dua kali lebih besar dengan gelagat ketakutan.

"Aku takut, sungguh," gumam Hoseok.

Perlahan, kedua iris yang sedari tadi terpejam kembali membuka. Jemari hangat perlahan mengusak puncak kepalanya dengan lembut ketika suara yang lirih menyapu pendengarannya, "Hoseok jangan takut, ya?"

"M-ma, Mama baik-baik saja?"

Mama tersenyum tipis. Bibirnya pucat sekali, namun beliau tetap mencoba tersenyum menenangkan anak laki-lakinya. Rambut hitamnya sedikit berantakan, sebab tidak disisir selama beberapa hari terakhir dengan benar.

"Mama baik-baik saja. Maaf ya, kalau selama ini Mama merepotkanmu. Bahkan sekarang kau membolos sekolah." Sekalipun Hoseok pernah mengomel ketika dirinya dibandingkan dengan anak tetangga di depan rumahnya, jika mama sudah berbicara mengenai hal seperti ini, rasanya Hoseok ingin menangis saja. Terlebih air matanya jatuh ketika beliau melanjutkan, "Mama mencintaimu. Tetap di sisi Mama, ya?"

Hoseok mengangguk dan langsung menghambur ke pelukan Mama. Tak masalah jikalau dirinya dicap cengeng karena menangis. Persetanan.

"Hei, jangan menangis. Kau jadi jelek."

Butuh sekitar sepuluh detik agar Hoseok menghentikan tangisannya sejenak. "Apa? Jelek? Hei, aku ini tam-"

Omongannya tiba-tiba terhenti tak kala saat jari telunjuk Mama mendarat di bibirnya. "Diam. Berhenti menangis dan mengomel. Pacarmu sudah menunggu di luar sana terlalu lama. Cepat bukakan pintu dan perkenalkan pada Mama, ya?"

Eh, pacar?

Undelivered | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang