Chapter 19

335 94 17
                                    

Jika kalian berpikir kalau yang Hoseok lakukan hanyalah berdiam diri sembari menyesali ciuman itu, kalian salah besar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jika kalian berpikir kalau yang Hoseok lakukan hanyalah berdiam diri sembari menyesali ciuman itu, kalian salah besar. Lagipula, memangnya ada yang bisa menolak untuk tidak mengecup bibir ranum yang menggoda imannya dalam kurun waktu belakangan ini? Tidak ada, Bung.

Namun, yang menjadi masalah utamanya adalah; kenapa ciuman itu harus ada sangkut pautnya dengan taruhan? Jika saja Hoseok bersikeras agar tetap membelikan beberapa buah album milik band kesukaan Namjoon, pasti ciuman itu akan membawa mereka berdua—Hoseok dan Yessa, ke dalam hubungan yang satu tingkat lebih tinggi daripada teman.

Tapi, pepatah pernah bilang; yang berlalu biarlah berlalu. Hadapi apa yang terjadi sekarang dan rangkailah masa depanmu. Jadi, tanpa menunggu seluruh murid di kelasnya keluar satu-persatu, Hoseok dengan cepat menaiki meja, membuka jendela kelas lalu melompatinya. Membiarkan beberapa pasang mata menatapnya tak habis pikir sembari menggelengkan kepala.

Ini sudah sore. Tidak banyak waktu yang tersisa. Malam akan segera tiba dan itu merupakan hambatan bagi Hoseok. Dan sekarang ia tengah mengayuh sepedanya dengan cepat, kendati perutnya mulai mengeluarkan suara gemuruh tanda lapar. Tapi itu semua rasanya tidak sebanding dengan Yessa. Hoseok bertekad harus menemukan gadis itu secepat mungkin dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

Tujuannya hanya satu, rumah Yessa.

Hoseok turun dari sepedanya, menuntun benda beroda dua tersebut mendekat ke arah pagar. Bangunan dengan desain klasik itu tampak sepi. Beberapa kali ia mencoba mengintip di sela-sela pagar yang menjulang tinggi, terlihat jelas jika tidak ada satu pun alat transportasi yang terparkir di garasi. Namun, sisi pantang menyerah itu kembali muncul ke permukaan, membuat Hoseok tergerak hatinya untuk terus mencoba. Kiranya ia harus memastikan dengan menekan bel yang terpasang.

Hatinya tiba-tiba cemas kala tidak mendapat respon apa-apa, dan ini sudah kali ke lima Hoseok menekan bel. Ia cemas sekaligus takut.

Apakah Hoseok harus terus berdiri di sini sampai malam tiba dan menunggu keajaiban datang padanya atau ia seharusnya pulang saja dengan kedua bahu yang merosot sebab tidak menemukan satu pun petunjuk?

Hoseok menghela napas kasar. Tangannya sudah kembali ke posisi semula. Terkulai di samping badan. Harapannya kian pupus seiring dengan hembusan pelan angin yang mengibarkan seragam sekolah miliknya.

Saat hendak berbalik, karena dirasa-rasa dirinya hanya membuang waktu, seorang wanita paruh baya menghampiri Hoseok yang bersiap mengayuh sepedanya kembali. Dengan kacamata berbingkai bulat juga seutas kalung emas yang tampak mencolok, wanita itu tersenyum simpul dan bertanya pelan, "Ada apa anak muda?"

Hoseok terkesiap, hampir saja melayangkan sebuah tamparan ke si pelaku yang mengejutkannya, namun segera ditahan kala mengetahui itu hanyalah seorang wanita paruh baya yang mungkin menjabat sebagai tetangga Yessa.

Sejenak Hoseok menggigit bibir bawahnya, kemudian bertanya dengan nada sopan, "Apa Bibi tahu kemana pemilik rumah ini?"

Wanita itu sekilas melirik ke arah rumah Yessa yang didominasi warna cokelat sebelum akhirnya menghembuskan napas kasar. "Namaku Ruth," ujarnya memerkenalkan diri. Ketara sekali ia sedang mengalihkan topik pembicaraan.

"Hoseok. Jung Hoseok," balas Hoseok dengan sedikit heran. "Begini, aku hanya penasaran kenapa Yessa absen secara tiba-tiba dari sekolahnya. Tanpa ada kabar satu pun."

"Kau pacarnya, ya?"

Ey, kenapa begini?

"Temannya," ralat Hoseok dengan cepat.

Tampak jeda dalam waktu yang cukup lama. Menyisakan Hoseok dan wanita paruh baya tersebut dalam keheningan yang tak berujung, hingga akhirnya wanita tersebut membuka suara kembali, "Yessa itu anak yang baik."

Hoseok mengernyitkan keningnya tidak paham. Sesuatu seperti baru saja menabrak sistem syaraf otaknya hingga ia kesulitan untuk mencerna ucapan tersebut.

"Ia baik. Tapi nasibnya sangat malang. Ia tidak punya ayah. Ibunya keras kepala. Kakaknya hampir depresi."

"Maksud Bibi?" tanya Hoseok dengan penasaran. Ia memiliki firasat bahwa ada satu rahasia yang tak pernah Yessa ungkap padanya. Dan makin ke sini, rahasia itu seperti berusaha membebaskan diri dalam kukungan erat sang pemilik.

"Yessa itu punya penyakit gagal jantung."

Undelivered | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang