Chapter 22

352 92 19
                                    

"Kau bawa apa, Jung?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kau bawa apa, Jung?"

Ingatkan Hoseok untuk bernapas. Sebab pemandangan yang sedang disuguhkan cukup untuk membuat jakun pemuda tersebut naik turun. Tidak. Yessa tidak telanjang kok. Gadis itu memakai baju lengan pendek juga celana bahan yang senada dengan warna bajunya. Hanya saja, pada bagian bawah, baju Yessa sedikit tersingkap hingga menampilkan perut datarnya. Mungkin karena kipas angin yang sedang beputar-putar di atas langit-langit kamar.

Namun, ketika pikiran aneh itu menjalar di dalam otaknya, dengan cepat Hoseok menggelengkan kepala—menepis segala pikiran kotor yang mungkin ia peroleh dari Namjoon. Membuat gadis yang tengah berbaring tersebut menautkan kening keheranan. Pun suara halusnya kembali menyadarkan Hoseok. "Jung? Kau tak apa?"

Hoseok menahan napas sebentar sebelum menghembuskannya melewati mulut. Tungkainya kemudian melangkah kecil ke arah ranjang Yessa. Gadis itu masih sama. Kendati sudut bibirnya berupaya keras untuk mengukir seutas senyuman, tetap saja Hoseok tahu. Ia sekarat.

"Untukmu."

Hoseok mengeluarkan sesuatu dari paper bag yang ia bawa. Sebuket bunga dengan warna putih yang mendominasi. Yessa tak begitu yakin dengan aromanya, sebab hidung kecilnya ini sedang terserang flu. Tadi malam saja gadis itu rasanya sudah menghabiskan ratusan lembar tissu guna membuang cairan lengket yang menyumbat. Kendati demikian, Yessa tahu betul bunga jenis apa yang sedang dibawa oleh Hoseok; baby breath. Bunga yang katanya melambang cinta yang tulus.

Dengan malu-malu Yessa mengambil alih bunga yang diberikan padanya. Tersenyum tipis sebelum berucap, "Terima kasih Jung. Aku suka."

"Syukurlah kalau begitu."

Perlahan Hoseok duduk di ujung ranjang, dekat jemari kaki Yessa yang sesekali bergerak gelisah. Tak sia-sia perjuangannya untuk bangun pagi-pagi demi memetik bunga baby breath yang tertanam di belakang rumah. Walaupun saat itu udara pagi nyatanya jauh lebih dingin dibanding AC yang menyala di dalam rumah, tetap saja Hoseok kukuh. Ia ingin memberikan sesuatu untuk Yessa. Sesuatu yang bisa diingat sampai kapan pun.

"Maaf, ya, aku tidak bisa memberikanmu apa-apa."

Yessa menautkan jemarinya di atas paha. Punggungnya kini sudah bersandar pada kepala ranjang. Air wajah gadis itu sedikit murung dibandingkan saat Hoseok memberinya bunga. Pun sebelum hal yang tidak-tidak terjadi, Hoseok dengan cepat menggeleng pelan seraya berucap, "Tak apa. Aku hanya minta satu hal darimu. Bukan hal yang sulit, kok." Sejenak Hoseok mengamati lengan Yessa yang semakin mengecil di tiap harinya. "Tolong cepat sembuh. Itu pintaku. Bisa 'kan?"

Sebisa mungkin Yessa menahan dadanya yang terasa sesak. Ini bukan perkara mudah, pikirnya. Ini adalah bagaimana ia harus menepati sebuah janji yang bahkan Yessa sendiri tak tahu kepastiannya. Bahkan, matahari yang menggantung rendah di ufuk barat, nampak menertawakan batinnya yang sedang beradu argumen. Mengangguk atau menggeleng. Gerakan yang mudah untuk dilakukan, tapi jika sudah bersangkutan dengan sebuah janji, kiranya hal tersebut akan berbalik seratus delapan puluh derajat.

Undelivered | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang