Chapter 17

383 103 25
                                    

Semuanya belum berakhir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semuanya belum berakhir. Hoseok tentu sudah tahu itu. Ternyata, ini lebih sulit dibandingkan dengan membalik sebuah telur mata sapi di atas penggorengan tanpa harus terkena minyak panas yang meletup-letup. Mencium Yessa itu butuh mental yang cukup kuat.

Terlebih saat ini mereka sama sekali tidak pernah menunjukkan perasaan lebih, kendati Hoseok sendiri benar-benar menyukai gadis tersebut. Jadi, berandalkan dengan ajakan pulang bersama, Hoseok mencoba mengayuh sepedanya sepelan mungkin dengan Yessa yang duduk di boncengan belakang.

"Eum ... Yess?"

Atensi Yessa yang semula mengarah pada mentari yang menggantung rendah, dialihkan pada Hoseok. Tapi sayangnya ia tidak dapat melihat pahatan sempurna wajah pemuda itu, hanya punggung berlapis seragam yang mulai basah akibat keringat. Baginya itu tak masalah. Sebab, menurut Yessa itu menyenangkan. Terlebih juga dirinya bisa melingkarkan lengan di sekitar perut Hoseok.

"Kenapa?"

"Kita menepi sebentar, ya? Kau mau 'kan melihat sunset bersamaku?"

Bersyukur saja lidah Hoseok tidak terlilit dengan kalimat yang baru saja ia lontarkan. Puluhan kali ia mencobanya di dalam hati dan baru detik ini bisa keluar. Rasanya lega sekali. Tapi ini belum berakhir, ia harus menunggu jawaban Yessa.

Sejenak Yessa menimang tawaran yang Hoseok berikan, terlihat raut wajahnya cukup cemas untuk sesaat. Namun, beberapa detik kemudian gadis itu tetap juga mengangguk menyetujui. "Boleh. Tapi antarkan aku pulang sebelum jam delapan, ya?"

Well, Hoseok tidak bisa menyembunyikan raut bahagianya. Pemuda itu dengan lekas menepikan sepeda ke tempat yang lebih lapang dan menarik tangan Yessa menuju tempat yang lebih tinggi.

Matahari dipenghujung senja memang terbaik. Di sini kau akan bisa melihat bagaimana langit dilukis dengan begitu apik oleh sang pencipta. Dengan warna orange yang mendominasi, beberapa burung camar beterbangan di atas kepala, seolah siap kembali ke sarang masing-masing dan menyambut malam sebagai peneman tidur.

Keduanya terdiam. Saling mengalihkan pandangan agar tidak menatap satu sama lain. Suasana cukup canggung, jadi Hoseok berusaha mencairkannya sedikit dengan berucap pelan, "Sudah hampir dua minggu kita berteman."

Yessa menoleh, membiarkan kedua telinganya mendengar deru kendaraan bermotor yang mengaung di atas jembatan yang berdiri kokoh di atas sungai. Sedikit bingung dengan kalimat yang baru saja Hoseok ucapkan. Ia tidak tahu harus memberikan respon seperti apa selain, "Iya, waktu berjalan dengan cepat rupanya."

Sedari tadi Hoseok menahan napasnya. Degup jantungnya berdetak dengan tidak normal. Ia tidak mengerti. Entah ini disebabkan terlalu lelah mengayuh sepeda atau karena ia baru saja mengucapkan kalimat tolol.

"Kau pernah dengan kisah Apollo dan Dafne, belum?"

Gelengan singkat yang diberikan Yessa menjadi jawaban. Jadi sebelum memulai cerita, Hoseok mengambil napas sejenak dan membulatkan tekadnya di dalam hati, "Apollo itu adalah dewa musik dan matahari. Sementara Dafne, adalah putri dari Peneus. Kisah cinta mereka bukanlah sesuatu yang tidak disengaja, melainkan ulah dari Eros."

"Siapa Eros?"

"Dewa cinta romawi. Dia digambarkan sebagai anak kecil yang membawa busur dan panah, yang dapat membuat manusia maupun dewa jatuh cinta." Sejenak Hoseok menghentikan ceritanya, mencoba menelisik Yessa yang kini tengah menatapnya penasaran. Jadi, dengan satu tarikan napas dan hembusan panjang, Hoseok kembali melanjutkan, "Eros merasa tersinggung atas kesombongan Apollo yang mengatakan bahwa ia bisa menghancurkan semua yang ada di dunia."

"Eros pun mengambil dua anak panah yang berbeda. Anak panah dari emas-anak panah cinta, ditembakkan tepat di jantung Apollo. Sedangkan anak panah yang lain adalah anak panah dari timah-anak panah kebencian, juga ditembakkan ke arah Dafne, putri dari dewa sungai Peneus."

Hoseok menghentikan ceritanya pasti. Kembali mengamati wajah Yessa yang ditimpa sempurna oleh sinar matahari yang mulai redup.

Menyadari bahwa Hoseok tak lagi melanjutkan cerita yang sangat menarik mintanya, Yessa menggeser bokongnya mendekat ke arah pemuda itu, lalu berujar pelan, terlalu pelan hingga yang dapat Hoseok hanya berupa, "Lalu, apa yang terjadi dengam mereka?"

Mengesampingkan sisa pertanyaan yang mungkin sempat Yessa berikan, Hoseok menegakkan punggungnya. Melirik rumput sekitar yang rupanya ikut bergoyang karena di sapu oleh deru angin tipis atau hal yang lainnya. Yang terpenting saat ini Hoseok hanya bisa tersenyum simpul. "Nanti. Pasti akan kuceritakan lagi bila ada waktu."

Sebelum matahari benar-benar tenggelam dalam gulungan riak air sungai yang begitu halus, Hoseok sedikit mengepalkan kedua tangannya dengan kecang seiring dengan posisi badannya yang mulai condong ke arah Yessa yang masih mematung. Deru napas panas keduanya terdengar pelan, namun jauh di lubuk hati Hoseok, rasanya ada jutaan kuda-kuda liar yang tengah berlarian kesana-kemari tak tentu arah.

Bibir keduanya bersentuhan. Hanya bersentuhan. Tak menambah gerakan apapun selain hal tersebut. Lantas keduanya memejamkan kedua mata rapat sebelum rungu mereka kembali terisi dengan sorak-sorak ramai yang diiringin dengan riuh tepuk tangan. Oh, tentunya siapa lagi jika itu bukan ulah si Namjoon dan temannya.

"Wah, Jung. Kau hebat juga, rupanya."

Ingatkan Hoseok agar menampar pipi Namjoon setelah usai taruhan ini. Pipinya memanas, malu bercampur gugup seolah tengah mengisi tubuhnya saat ini. Sudut mata Hoseok juga bisa melihat bahwa ada Daniel yang tengah membawa balon-balon bergambar hati yang tengah ia genggam dalam tangan kanannyan.

Hoseok senang. Teman-temannya juga. Namun, ada satu orang yang terlihat tidak begitu bahagia. Yessa. Gadis itu stagnan dengan raut wajah yang berubah masam. Di saat bersamaan, kedua pundaknya bergetar pelan dengan kedua mata yang mulai berair menahan tangisan.

"Kau kira aku ini barang, ya, Jung?" Yessa menggeleng tak percaya. Ibu jarinya mengusap sudut matanya yang sudah mengeluarkan setetes cairan. "Kalau begitu, selamat. Selamat karena telah berhasil dalam taruhanmu."

Hoseok berusaha menggapai lengan Yessa yang kini semakin menjauh darinya. Namun, si gadis hanya bisa melangkah mundur dengen gelengan yang terus ia ciptakan. "Aku benci senja. Aku benci burung camar. Aku benci kisah Apollo dan Dafne yang kau ceritakan." Yessa menghentikan gerak kepalanya. Ia semakin sakit dengan pening yang perlahan merambat ke kepala.

Dan satu kata yang tersisa, sukses dimutahkan Yessa dam beberapa detik. Sukses membuat Hoseok menyesali teruhan konyol yang telah ia setujui. "Aku juga membencimu, Jung Hoseok!"

Undelivered | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang