Chapter 4

676 170 51
                                    

"Bangsat!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bangsat!"

Seiiring dengan derap langkah yang terdengar menggema di sepanjang koridor sekolah, Hoseok mengumpat dengan nyaring. Tak memerdulikan tatapan heran dari siswa kelas lain atau Namjoon yang memutar bola matanya jengah.

Bagaimana Hoseok tidak mengumpat jikalau Jungkook—si kacamata bulat—tiba-tiba keluar dari kelas dengan terburu-buru. Awalnya ia tidak peduli, tapi melihat pemuda culun tersebut kembali dengan Tuan Choi, Hoseok dan teman-temannya dengan cepat menghambur ke dalam kelas. Duduk di kursi dengan rapi sembari mengeluarkan buku matematika di atas meja.

"Maafkan saya karena telah lupa. Hari ini kita ulangan." Semua murid di dalam kelas terdiam, kecuali si biang pembawa masalah. Si culun itu dengan santai mengambil secarik kertas dari dalam buku dan menuliskan namanya di pojok kanan.

Melihat murid yang tidak ada merespon, Tuan Choi pun kembali melanjutkan, "Melihat dari ekspresi kalian saat ini, ulangan akan diundur satu jam lagi. Saya harap kalian bisa menjawab soalnya dengan benar!"

Well, kalimat tersebut terdengar sangat menuntut. Terlebih kini Hoseok sedang menuju perpustakaan dengan Namjoon. Ia tahu jika ada siswa yang mendapat nilai rendah di kelas Tuan Choi, maka laki-laki berkumis tebal itu tidak akan segan-segan menarik telinga hingga memerah. Dan tentunya Hoseok enggan untuk mendapatkannya.

"Bangsat!"

Lagi, kata-kata kotor itu terus meluncur di balik bibir tebal miliknya, mengundang Namjoon yang berada beberapa langkah di depan menoleh dan memberikan tatapan memincing. "Diam, Jung! Aku sedang pusing, tahu! Kau ingin aku menyumpal mulutmu dengan kaus kaki si Jeon itu, huh?"

Hoseok bergidik ngeri. Ada sebuah kejadian di mana Jungkook selalu melepas kaos kakinya setelah selesai istirahat. Terkadang ia membiarkannya tergeletak di atas lantai atau malah tergumpal di laci meja. Menjijikkan, sungguh. Bahkan para siswa dan siswi yang piket pada hari itu harus rela menutup lubang hidungnya agar bisa melempar benda tersebut ke tempat sampah.

Mendengarnya saja ia ingin muntah. Jadi, Hoseok memutuskam untuk mengunci mulutnya sementara. Setidaknya sampai ia tiba di perpustakaan.

Buku tebal yang jelek, tembok yang dicat cokelat tua, anak-anak culun dengan kacamata yang bertengger di hidung. Sial. Hoseok mengembuskan napas panjang. Mencoba tetap mengiringi langkah Namjoon yang membawanya ke rak bagian buku pelajaran. Mengambil satu dan diserahkan padanya.

Tak ingin protes, sebab bisa berujung dengan dirinya yang tidak diberi contekan. Jadi, Hoseok hanya diam dan terus mengikuti.

Anehnya, Namjoon tidak lagi mengambil beberapa buku pelajaran, melainkan memilih beberapa novel picisan dengan sampul yang mengelupas. Kuno sekali bukan?

Kiranya ada enam buah buku yang berada di atas tangan Hoseok. Pemuda tersebut jelas kesulitan membawa benda yang katanya sebagai jendela dunia ini. Ia bahkan hanya bisa melihat ujung rambut Namjoon yang terbang disapu oleh deru kipas angin.

Hingga—

Bruk...

Buku berjatuhan menimpa kedua kakinya. Bangsat.

Untuk umpatan yang ketiga kali ini, Hoseok hanya bisa mengatakannya di dalam hati. Sebab kaki yang menghalangi jalan hingga membuatnya terjatuh adalah kaki milik Yessa—si murid baru incaran Hoseok.

"Maafkan aku, ya. Aku salah."

Tunggu, apa Hoseok tidak salah dengar, ya?

Jarang sekali Hoseok mendengar seorang perempuan meminta maaf terlebih dahulu. Dan kini ia telah mendapatkannya satu. Tentunya Hoseok tidak akan melepaskannya begitu saja.

Undelivered | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang