Keningnya berpeluh. Napasnya tidak beraturan. Song Yessa masih ingat bagaimana malam hari ketika dirinya berbaring di atas kasur, memejamkan kedua mata dan bersiap untuk tidur, tiba-tiba dadanya sakit. Seperti ada orang yang mengoyaknya begitu lebar dan menginjaknya begitu kuat.
Mungkin jika saja kakak laki-lakinya tidak mendengar jeritan Yessa di lantai atas, dia pasti sudah mati saat itu. Tergeletak di atas kasur dengan jantungnya yang telah berhenti berdetak, hidungnya tak lagi menghirup udara dan sekujur tubuh yang kaku.
Mengingat dirinya yang sangat mengerikan kemarin malam, membuat Yessa memejamkan matanya. Menghirup oksigen sebanyak yang ia bisa dan mengembuskannya perlahan.
Hari ini ia tidak masuk sekolah. Kembali terperangkap di dalam rumah sakit dan terbaring di atas ranjang dengan iris yang menerawang ke arah langit-langit ruangan yang dicat putih bersih.
Andai aku bisa hidup normal.
Jika saja Yessa bisa memilih jalan hidupnya, tentu ia akan memilih apa yang menurutnya bagus. Well, ia sendiri tak apa jika harus terlahir dalam keluarga sederhana, asalkan dirinya bisa sehat. Bukannya seperti ini, lahir dalam keluarga berkecukupan namun dengan kondisi yang memprihatinkan.
Yessa sendiri sudah lelah mendengar mama yang menangis tiap malam. Mengkhawatirkan dirinya, takut-takut esok hari ia menemukan anak bungsunya tidak bernyawa lagi.
Mama pernah bilang padanya, saat itu masih pertengahan bulan September, matahari masih memancar lewat jendela yang terbuka, semilir angin menerbangkan surainya yang diikat tinggi. "Yessa anak yang kuat. Bertahan untuk Mama, ya?"
Saat itu dirinya hanya mengangguk, tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh mama.
Sekarang, Yessa sudah besar. Kiranya ia sudah tahu.
Yessa itu adalah sebuah kegagalan.
Bahkan melihat wujud rupa sang ayah saja, Yessa tidak pernah. Mama dan Kakaknya selalu mengatakan bahwa ayah sudah meninggal sejak dirinya dalam kandungan. Tapi ia sendiri tahu kalau mereka berdua itu berbohong.
Ayah masih hidup.
Sebab, beberapa hari setelah dirinya merayakan ulang tahun yang kesembilan. Saat mama sudah tidur dan kakaknya sibuk berada di luar bersama teman-teman sebayanya, ada seorang laki-laki asing mengetuk jendela kamarnya. Memberikan sebuah kado dan tersenyum pelan. "Selamat ulang tahun, ya. Maafkan Ayah, juga. Ayah mencintaimu."
Pagi harinya, tentu dengan riang Yessa memberi tahu hal tersebut kepada mama. Namun, apa yang ia harapkan ternyata lebih buruk. Mama marah dan mengatakan bahwa itu semua hanya mimpi buruknya saja.
Keningnya mengernyit tatkala merasakan nyeri di bagian dada, begitu sakit hingga menjalar ke punggungnya. Yessa kembali memejamkan matanya, mencoba bersandar pada bagian kepala ranjang guna meredam nyeri yang berujung sesak napas.
Ini bukan yang pertama kalinya. Ini sudah yang kesekian kalinya.
Menyedihkan memang. Terjebak di dalam ruangan sempit dengan bau obat-obatan yang menyengat. Yessa mendadak merindukan sekolah barunya itu. Terlebih Hoseok, teman pertama di sekolah.
Bisa dikatakan Yessa menyukai pemuda itu. Senyumnya benar-benar sehangat mentari. Tapi ada satu hal yang mengganggu pikirannya.
Apa Hoseok mau menerima gadis cacat sepertiku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Undelivered | ✔
Fanfic[COMPLETED] "SERIES 1" Just be brave, Hoseok. ©ᴘʀᴀᴛɪᴡɪᴋɪᴍ ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇᴅ | ᴇꜱᴛ. 27/07, 2018