Janji 8

1.1K 118 5
                                    


Penyesalan tidak akan hadir tanpa sebab. Hargailah dia yang selalu ada untukmu. Cinta itu rumit namun akan sulit jika perpisahan telah menjadi sekat pemisah antara mengiklaskan dan merelekan dia untuk yang lain.























"Bagaimana?" Kankuro menghela napas berat, masalah tentang pemberontakan sebagian besar membuat dirinya kehilangan selera makannya. Anbu dengan seragam jounin Suna itu menunduk, "maaf Kankuro-sama, belum ada perkembangan dari mata-mata kita." Wajah yang biasa selalu dihiasi senyum ramah itu terlihat mengeras, "pergilah!" Dengan cepat anbu itu menhilang dengan jutsunya.

"Sial!" Sampai kapan adik bungsunya akan terus dipandang sebelah mata. Kankuro tidak sama dengan Gaara. Dia itu diam-diam menugaskan anbu kepercayaannya untuk memata-matai gerakan para pemberontak.

Gaara dengan cekatan menyelesaikan tumpukan-tumpukan dokumen di atas mejanya. Jam dinding sudah menunjukan waktu makan siang, dia ingat janjinya untuk makan siang bersama sang istri. Ketukan pada pintu kerjanya membuat Gaara menghentikan  pekerjaannya.

"Masuk!"

Gaara mengeryitkan dahinya, "ada apa?" Perasaannya tiba-tiba tidak enak.

"Kami mendapat kabar, bahwa mereka telah menyamar sebagai warga Suna." Penjelasan Shikamaru membuat Gaara berpikir keras. Itu terlalu berbahaya untuk dirinya dan kedudukannya sebagai Kazekage.

"Apa kau yakin?" Gaara bukan tidak percaya pada kemampuan dan kejeniusan calon kakak iparnya. Nara Shikamaru.

Sang ketua tim memberikan sebuah perkamen lusuh yang mereka temukan ketika mengejar para pemberontak itu.
Gaara menahan emosinya yang siap meledak kapanpun, seringai kejam terlihat diwajah tampannya. Sudah lama dia tidak menunjukan sisi kejam dirinya.

Sebelum pamit undur diri Naruto mengeluarkan suaranya, nyaris membuat teman-temannya terkena serangan jantung. "Gaara," yang dipanggil menatap langsung lawan bicaranya, "aku khawatir, mereka tidak hanya mengincar kedudukan Kazekage, tapi," Naruto mengumpulkan keberaniannya dengan mantap, "mereka juga mengincar Hinata."

Sai tersenyum tipis melihat ekspresi sang Kazekage muda itu. Rahangnya terlihat mengeras belum lagi remasan kuat pada sisi meja kerja yang mampu meremukan benda mati itu.

"Aku tau." Gaara berusaha terlihat biasa saja.

"Kami permisi."

Dia tau, sahabatnya itu masih mempunyai rasa terhadap istrinya. Cih. Kalau cinta kenapa tidak diperjuangkan, justru dia menelantarkan perasaan gadis Hyuga itu. Sekarang Hinata adalah miliknya, dan Gaara tidak akan membiarkan siapapun mengambil atau menyakiti wanita itu.

Hinata yang mendengar suara Gaara dengan cepat menghampiri pria itu.

"Gaara-kun."

Gaara terkekeh, Hinata memeluknya di depan pintu rumah mereka.

"Hinata. Aku lapar."

Gaara dan Hinata menghabiskan makan siang mereka dengan sesekali tertawa dan saling melempar senyum. Mereka menikmati waktu makan siang dengan bahagia.

"Gaara-kun."

"Hn."

"Kau tidak kembali ke kantor?" Hinata menyandarkan kepalanya didada Gaara. Mereka tengah asik menonton tv.

"Kenapa? Kau tidak suka aku di rumah?" Gaara mengangkat dagu Hinata, "bukan itu. Aku takut nanti para tetuah akan marah padamu?" Hinata mengerucutkan bibirnya, dia kesal dengan Gaara. Sementara pria itu hanya terkekeh melihat istrinya begitu mengemaskan.

"Para tetuah justru senang," Hinata nampak bingung, "karna mereka menginginkan kita membuat Sabaku junior." Tangan Gaara bergerak mengelus perut Hinata. Tidak lama tubuhnya berada dalam gendongan Gaara, dia menuju kamar mereka. Hinata terlalu malu, dia bisa menebak apa yang akan mereka lakukan nanti.

Hinata terbangun lebih dulu, dia tidak mampu membendung perasaan bahagia dihatinya saat melihat tangan Gaara memeluk erat dirinya. Hinata mengenggam telapak tangan Gaara yang masih bertengger manis diperutnya, Gaara benar-benar menginginkan Sabaku junior di dalam perut Hinata.

"Cepat hadir!" Hinata menutup matanya saat dirasa pelukan pria itu makin mengerat, "kami menantikanmu." Gaara mengelus pelan perut Hinata berharap harapannya bisa segera terkabul.

Gaara membalik tubuh istrinya, seketika itu perasaannya menjadi tidak menentu. Bagaimana jika yang Naruto kataka  itu benar? Para pemberontak itu akan mengancam keselamat Hinata. Seolah bisa membaca pikiran Gaara, Hinata menyentuh pipinya.

"Ada apa?"

"Mulai besok, kau akan ditemani anbu kemanapun kau pergi." Gaara tidak menjawab pertanyaannya, justru menambah rasa khawatir Hinata.

Hinata berusaha tersenyum, dia juga bingung dengan sikap Gaara.

"Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir yang berlebih, Gaara-kun."

Gaara menarik Hinata untuk lebih dekat dengannya, dengan perasaan tidak menentunya Gaara berusaha menepis pikiran buruk itu. Dia mengelus sayang pucuk kepala istrinya sesekali juga mengecupnya.

"Mereka sudah berbaur dengan masyarakat Suna, tidak mudah untuk membedakan mereka lagi."

Gaara merasakan tubuh Hinata menegang dalam pelukannya, "tenanglah. Semua akan baik-baik saja." Gaara mengelus punggungnya. Sekarang Hinata paham dengan keadaan ini. Dirinya pasrah saja dan akan mengikuti kemauan Gaara.

Mereka hanya diam dan menikmati kebersamaan ini. Hinata seharusnya sudah biasa dengan keadaan seperti ini, sebagai ninja sudah dilatih untuk menghadapi situasi dan kondisi apapun itu. Tapi, untuk kali ini dia merasa ketakutan.














**(bersambung)**


JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang