Janji ch 14

747 90 19
                                    

































Kepergian mu, mengajari ku tentang kesetian.
Kehilangan mu, mengajari ku tentang kesabaran.

Cepat kembali!

Aku menunggumu!

RiyanaSabaku















Begini kah, rasanya kehilangan? Dulu dia pernah kehilangan, kehilangan sosok kakak dalam hidupnya, dulu dia pernah kehilangan, kehilangan cinta pertama dalam hidupnya. Dan sekarang, dia kehilangan. Kehilangan penopang hidupnya, separuh napasnya, belahan jiwanya, tempat bersandarnya. Sabaku No Gaara. Kazekage ke lima, sekaligus suami dan ayah dari bayi yang di kandungnya.

Hinata ingin menangis, namun, disatu sisi dia juga ingin marah. Marah pada takdir yang tak pernah memberikan kebahagian untuknya, tak cukup kah, dirinya kehilangan di masa lalu, sekarang dia harus kehilangan masa depannya.

Air mata tak tahu malu untuk berhenti, berulang kali di tahan, berulang kali di usap, dan berulang kali dia kembali terjatuh.

Setiap tetesnya, mengandung kesakitan tersendiri bagi Hinata. Dia ingin menyusul pria itu, tapi, dia harus bertahan demi menjaga buah cinta mereka.

Hujan yang tak pernah mampir ke tanah gurun itu, seketika turun dengan lebat. Membasahi setiap tanah gersang tempat sang Kazekage tumbuh. Pakaian serba hitam menjadi latar belakang pemakaman Kazekage Sunagakure, pria yang berstatus sebagai pengendali pasir itu tewas dalam misi rahasia.

Pemberontakan!

Satu kata yang membuat dirinya berakhir dengan tragis, bahkan meninggalkan kenangan pahit bagi semua orang.

Setiap kematian, pasti akan menyisakan tangis. Mungkin kepergian akan mengajarkan bagaimana kita harus mempertahankan sesuatu dengan baik, menjaganya tetap di sisi meski tak mampu merangkulnya.

"Gaara."

Berulang kali, berulang kali hatinya memanggil nama itu. Dan berulang kali dia tak menemui balasan.

Dia tersenyum, namun, senyumnya mengalirkan luka. Dia tertawa, namun, tawanya sakit.

"Kau berhasil! Berhasil membuat ku, terjatuh ke jurang paling dalam. Kau berhasil, berhasil menghancurkan semua mimpi indah yang ingin ku wujudkan."

"Hinata."

Hiashi tahu, putrinya bukan tak ingin menjawab panggilannya. Tapi, dirinya tak mampu lagi mengendalikan seluruh kerja organ tubuhnya.

"Hari mulai gelap, sebaiknya kita kembali ke rumah!" Pria itu begitu teriris hatinya, sudah sekian lama dia berharap agar putri sulungnya menemukan kebahagiannya. Dan sekarang, kebahagian itu harus sirna karna sebuah penghianatan.

Keserakahan akan kekuasaan, kebencian dan dendam yang di pendam membuat mereka saling membunuh. Tidak ada yang mampu menyembuhkan luka masa lalu, kecuali membalaskannya.

Pemakaman mulai tampak sepi, sebagian orang mulai kembali. Mereka berduka, duka yang akan menjadi kenangan pahit bagi sebagian orang.

"Hinata."

"Pergi!"

Hinata berbalik, air mata yang semula terhenti kini kembali hadir.

"AKU BILANG PERGI! APA BELUM CUKUP, KALIAN MEMBUATNYA SEPERTI MONSTER? MESIN PEMBUNUH!"

Hinata berteriak, dia meluapkan semua rasa sesak yang menghimpit dadanya. Sakit. Sampai dia menjadi hilang kendali.

"DAN SEKARANG KALIAN MEMBUNUHNYA! APA YANG KALIAN INGINKAN? APA?"

Seakan tahu, bahwa apa yang menimpa Gaara adalah sebuah perencanaan atas dasar pemberontakan.

"Hinata. Tenangkan dirimu!"

Hiashi dan Hanabi berusaha menenangkannya, "tidak, tou-san. Mereka yang membunuh Gaara! Mereka yang membuat anak ku tidak memiliki ayah! Apa salahnya? Apa?" Hinata terjatuh, sebelah tangannya mengenggam dada kirinya. Sakit, sampai sulit untuk bernapas.

Kankuro dan Temari menatap miris, mereka juga terpukul. Mereka kehilangan, mereka juga sakit.
Ingin rasanya mereka berteriak, meminta keadilan atas bencana yang menimpa si bungsu. Namun, hanya air mata mereka yang berbicara, sekuat apa pun berusaha tegar, maka sekuat itu rasa sakit akan menghantam mereka.

"Kau sudah sadar?"

Suara Temari yang pertama kali menyambutnya, Hinata tetap diam. Sekali lagi, diam adalah pilihannya.

Tatapannya kosong, air mata terus terjatuh. Tak ada lagi yang membuatnya bisa berhenti.

"Kau harus makan!"

Hinata menggeleng, "kau harus makan. Agar dia juga kuat." Temari mengenggam telapak tangan Hinata yang berada di atas perutnya, "bertahan lah, demi dia. Gaara melakukan semua ini untuknya."

"Dia egois, dia meninggalkan ku. Dulu, dia berjanjin tidak akan meninggalkan ku, tidak akan membuat ku menangis, tapi, dia pergi. Dia menginggkari janjinya. Dia egois! Aku benci padanya."

Temari hanya bisa memeluk erat Hinata, dia tidak akan membiarkan Hinata menanggung semua rasa sakit itu sendiri.

"Jangan berharap dengan keadaan ini!"

"Aku tidak berharap yang lain, aku hanya berharap bisa menjadi tempat bersandar ketika dia lelah dengan semua ini."

Dia menatap punggung pemuda itu hingga menghilang di balik pintu. "Dia bukan Hinata yang dulu lagi." Sai tersenyum miris, sahabatnya itu sudah melangkah terlalu jauh.

































*****((bersambung))*****










Hmmmm.... Ini aga lumayan panjang ch nya...

Ubur ubur
Ikan lele
Selamat membaca le

JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang