Janji ch 18

791 80 8
                                    














Benar. Rindu itu tidak peduli seberapa jauh jarak memisahkan ketika namanya kau sebut dalam doa maka dia mampu menembus ribuan mil jarak yang memisahkan kalian hanya dengan sebait kata dalam doa.






Musim salju mulai menghujani bumi Konoha dengan intensitas ringan namun sanggup menusuk hingga ke sel tubuh terkecil manusia.

Naruto masih betah berdiri di atas tebing para kage, udara dingin tak pernah menyulutkan niatnya untuk menatap tanah kelahirannya.

Bayangan masa mudanya hingga remaja mengalir dengan bebas memutar setiap kejadian dengan sangat sempurna.

"Apakah ini yang dinamakan dengan penyesalan? Bisakah aku mendapat kesempatan kedua?" Entah kepada siapa dia mengutarakan isi hatinya. Wanita satu-satunya yang sanggup menggetarkan jiwa raganya telah benar-benar menutup hati untuk Naruto.

"Naruto."

Naruto menunjukan sisi terlemahnya pada orang yang dia telah anggap sebagai orang tuanya, "Iruka-sensei."

"Jangan menyesali apa yang sudah terjadi, jadikan hal itu sebagai pelajaran agar kau bisa bangkit dari keterpurukan ini. Kau pasti bisa. Kau adalah Naruto Uzumaki pahlawan Konoha."

Benar dia adalah pahlawan Konoha terlalu hebat untuk patah hati dan terlalu bodoh untuk menyadari perasaannya sendiri. Hingga harus berakhir dengan penyesalan yang mengores luka pada hatinya yang telah lama patah.

"Iya, aku adalah pahlawan. Pahlawan yang bodoh." Kemudian di susul dengan tawanya yang lirih hingga menyebabkan kedua irisnya meneteskan butiran air mata.

"Berhentilah, Shikamaru! Sudah terlalu banyak yang kau minum. Itu bisa merusak tubuhmu." Choji dengan sabar menasehati sahabat baiknya.

"Sudah lama hati ini rusak. Sakit sekali rasanya," Shikamaru meremas bagian dada kirinya menunjukan tempat yang menjadi sumber lukanya, "aku terlalu mencintainya sampai rasanya seluruh tubuhku tidak akan merasakan sakit lagi jika bisa melihatnya meskipun hanya dari jauh."

Shikamaru meneguk habis minumannya, kepulangan utusan Suna ke negeri pasir menambah rasa sakit pada hatinya. Gadis yang dia cintai tidak sedikit pun menyapanya atau bahkan tersenyum untuknya.

"Temari, dia sudah melukaiku sampai aku kehilangan arah, Choji. Aku mencintainya sangat mencintainya bahkan tidak pernah bisa untuk berpaling pada yang lain. Dia membuatku seperti orang gila. Hahaha.. hahaaa..."

"Iya kau sudah gila. Sekarang, ayo kita pulang."

"Sampai kapan dia akan seperti itu?"

Helaan napas Kiba terdengar berat, "entahlah, para pemuda di desa ini sangat kuat di luar tapi rapuh di dalam."

"Kau terdengar sangat bijaksana, Kiba."

"Waktu mengajarkan ku banyak hal, Shino. Termasuk dengan menjadi bijaksana dalam bersikap."

"Tou-san."

"Bertahanlah, tou-san akan menyelamatkan mu." Gaara menggendong tubuh mungil putranya.

"Kazekage-sama kita harus membawa dia ke rumah sakit. Keadaannya sangat menghawatirkan."

Gaara sudah siap dengan segala resiko yang akan dihadapinya, apapun akan dia lakukan demi putranya.

"Kerahkan semua anbu untuk mencari Akira. Jangan kembali sebelum menemukannya!"

Kankuro tidak bisa menahan rasa khawatirnya, "Akira."

"Aku akan ikut mencari Akira."

"Hinata."

"Aku mohon nii-san, ijinkan aku untuk ikut."

"Baiklah. Tapi, kau akan berangkat dengan ku dan Temari."

Hinata mengangguk perasaannya campur aduk, rasa takut lebih dominan.

"Hinata, percayalah semua akan baik-baik saja. Akira pasti baik-baik saja."

Temari tau seberapa banyak ucapannya tak akan mampu membuat Hinata merasa baik-baik saja. Akira adalah sumber kehidupan Hinata. Dia mampu bertahan menghadapi peliknya hidup karna Akira.

"Kita berangkat!"





































**(bersambung)**









*heheee... Sebenarnya mau up besok. Tapi ya, begitulah...


*tinggalkan jejak kalian ya....

JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang