Janji ch 11

887 106 5
                                    



















Raganya memang di tempat, tapi pikirannya terus melayang kepada Hinata. Secepat itu kah, dia memalingkan hatinya dari Naruto. Bukan kah, sedari kanak-kanak Hinata selalu mencintai Naruto? Bukan kah, Hinata menjadikan Naruto sebagai penyemangat dalam hidupnya? Lalu mengapa sekarang dia mendapati wanita itu tengah mengandung benih sahabatnya sendiri. Sahabat yang Naruto jadikan ukuran agar dirinya bisa menjadi seorang Hokage. Harus kah, dia kembali menelan kekecewaan?

"Besok, misi kita akan segera berakhir. Kita akan kembali ke Konoha dan Shikamaru saja yang akan tetap disini." Penjelasan Sai membuat Naruto mendecih, "aku akan tetap disini! Bukan kah, kita belum bisa menyelesaikan misi ini?" Naruto bangkit dari duduknya, "jangan munafik Naruto! Aku tau, kau hanya ingin terus berada di dekat Hinata kan? Bagaimana rasanya ketika kau terlambat menyadari, bahwa seharusnya Hinata lah yang menjadi milik mu. Sakit bukan? Itu lah yang dirasakan Hinata, saat dengan gampangnya kau membuang perasaan Hinata kepada Gaara." Sai pun, tidak mau kalah dengan Naruto, lidahnya memang terlatih untuk mematahkan pertahanan hati Naruto. Pria jinchuriki itu menggeram marah, dia membanting pintu penginapan hingga salah satu engselnya copot.

Sai hanya diam melihat kepergian Naruto, bukan maksudnya ingin menyakiti sahabatnya. Hanya saja Naruto telah salah mengambil langkah, Hinata telah menjadi milik orang lain. Dan Sai tidak ingin Naruto terluka untuk yang ke dua kalinya.

"Sai."

Sai hanya tersenyum tipis. Dia menghampiri kekasihnya, "maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatnya semakin rumit."

"Aku tau. Tapi, kau juga harus mengerti. Naruto butuh waktu agar hatinya bisa berdamai dengan kenyataan."

"Kita tidak perlu berdamai dengan kenyataan. Karna pada dasarnya, kita lah yang membuat semua ini menjadi nyata."

"Sai. Kau tidak mengerti, Naruto. Dia sangat mencintai Hinata. Butuh waktu yang lama baginya untuk semua ini."

Sai menggengam tangan Ino, satu-satunya wanita yang bisa membuat dirinya mampu mencintai dan dicintai.

"Bukan kah, Hinata juga sama? Dia membutuhkan waktu yang lebih dari sangat lama untuk memperjuangkan Naruto. Seharusnya kau tau itu. Dan dengan gampangnya, Naruto menjungkirbalikan perasaan Hinata. Membuatnya harus berada di situasi sekarang, sakit yang dirasa Naruto belum seberapa dibanding dengan yang dirasakan Hinata."

Penjelasan Sai membuat Ino menangis, hatinya harus mengakui jika sebenarnya yang salah disini adalah Naruto. Pria itu terlalu bodoh untuk menyadari perasaannya sendiri. Dan ketika dia menyadarinya, semua telah terlambat.

"Kita harus bisa membantu Naruto keluar dari masalah ini. Aku tidak ingin Gaara salah paham dengannya."

Ino mengangguk, "kau belajar dari buku mana semua itu?"

"Sayangnya, itu tidak ada di buku manapun. Aku mendapatkan itu semua dari seseorang yang dengan tulus mencintaiku, seseorang yang dengan sabar tetap berada disisi ku meski kehadirannya tak pernah ku rasakan."

Seluruh tubuhnya hampir melemas, Sai sedang mengatakan tentang dirinya. Dia mengecup kening Ino, mendekap erat menyalurkan rasa yang hanya dirasakannya ketika bersama gadis Yamanaka itu.

"Kau baik-baik saja?"

Kankuro menatap datar mantan senseinya, "kenapa aku bisa ada disini?"

"Kau ditemukan tak sadarkan diri di makam ayah dan ibumu. Apa yang terjadi?" Baki menunggu jawaban Kankuro, namun pria itu tetap bungkam.

"Kau mengelami krisis kepercayaan."

Kankuro berdiri, "kau akan tau rasanya, ketika kau sendiri yang mengalaminya." Kankuro terlalu mudah untuk ditebak. Dia sangat polos, meski sudah menjadi seorang master kugutshu.

"Kankuro. Kau masih terlalu mudah untuk melakukan semua ini sendiri!"

"Jangan menasehati ku! Aku bukan murid mu lagi. Dan aku tidak butuh perhatian palsu seperti itu."

"Kau sama seperti ayahmu. Keras kepala" batin Baki.

Setelah kepergian Kankuro, Baki segera berbicara dengan seorang anbu yang dari tadi bersembunyi.

"Lakukan apa yang ku perintahkan. Jangan sampai gagal!" Anbu itu mengangguk paham. Perintah adalah misinya.

"Gaara-kun."

Gaara menoleh, "ada apa?"

"Tidak ada apa-apa." Hinata duduk disebelah Gaara, malam ini mereka habiskan dengan melihat bintang dari teras rumah mereka.

"Jangan memikirkan hal yang berat! Tidak baik untuknya." Tangan Gaara mengusap perlahan perut Hinata, sudah sedikit terasa jika perut itu mulai membuncit. Dia merapatkan selimut tebal yang menutupi tubuh Hinata.

"Aku ingin menjenguk Temari-nee."

"Sudah malam, besok saja."

"Tapi..."

"Cuaca malam hari tidak baik untuk kesehatanmu." Gaara mencubit pipi Hinata.

"Gaara-kun."

"Hn"

"Apa kau senang?"

Gaara bingung, dia menatap Hinata mencari tau apa maksud pertanyaan itu.

"Maksudmu?"

Hinata menatap telapak tangan Gaara yang masih menempel pada perutnya, "apa kau senang dengan kehadirannya?"

Pertanyaan bodoh.

"Apa kau mencintaiku?" Bukan menjawab pertanyaan Hinata, Gaara justru balik bertanya.

Hinata memukul pelan dada Gaara, "tentu saja. Kalau tidak, untuk apa aku mengandung benihmu." Hinata segera menenggelamkan wajahnya di dada Gaara. Seluruh wajahnya sudah memerah akibat pernyataannya sendiri.

"Aku pun demikian, Hinata. Jika kau bertanya, apakah aku senang atau tidak akan kehadirannya, maka jawabannya adalah sangat. Sangat senang bahkan bahagia. Aku mencintaimu, meski sekalipun kau masih memilik rasa terhadap Naruto, aku akan tetap mencintaimu. Hingga kau sadar, bahwa aku benar-benar tulus padamu.

"Tidak pernah terbesit dipikiran ku, untuk memaksa mu membalas rasa ini," Gaara mengarahkan telapak tangan Hinata untuk menyentuh dadanya, "mungkin di masa lalu, aku tidak pernah ada dan tidak berarti untukmu. Tapi, aku akan membuat di masa sekarang dan masa depan, kau tidak akan pernah bisa dan mampu untuk berpaling dariku."

Hinata benar-benar bisu, mulutnya terkunci rapat. Namun air mata mengalir deras. Dia tidak pernah menyangka, pria dingin dan mesin pembunuh, begitu orang -orang menyebutnya di masa lalu, mampu membuat seluruh sendi-sendinya bahkan sel dalam tubuhnya ikut merasakan ketulusan Gaara.

Dalam dinginnya suasana malam gurun pasir, tak sedikitpun terasa. Ketika dua insan itu saling berbagi kehangatan lewat pelukan. Kebahagian memang tak akan lengkap jika tanpa penderitaan. Begitulah kehidupan, tidak selamanya berjalan mulus.
























Gabut e.. Part ini bikin geli sendiri kalo baca. Kaya kurang pas rasanya...

***((bersambung))***




JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang