Seperti dugaan sebelumnya, para tetua desa Suna dan damio negara angin telah mengadakan rapat. Mereka akan mengganti Gaara sebagai Kazekage dengan mencalonkan Kankuro. Saat ini hanya Kankuro kandidat terbaik. Akira masih terlalu kecil untuk menjadi seorang kage.
Rapat berlangsung sangat alot dan tegang. Gaara sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Berbagai spekulasi negatif berseliweran disaat berbagai ninja dari tingkat chunin maupun jounin hingga anbu menjaga ketat mulut mereka tentang kabar tentang pergantian Kazekage mereka.
Para utusan dari masing masing aliansi shinobi hanya duduk mendengarkan. Mereka hanya sekutu bukan haknya untuk menyuarakan pendapat sekalipun diminta.
"Bagaimana nee-san, bagaimana keadaannya?" Hinata menangis pelan. Dia ingin berada di dekat pria itu. Ingin menggengam jemarinya. Ingin menguatkan prianya. Ingin mengatakan meski seluruh dunia mencampakannya, Hinata tidak akan meninggalkannya. Namun pria itu menolak, menolak Hinata untuk berada di dekatnya. Menolak Hinata untuk menjadi sandarannya. Menolak Hinata untuk menjadi penguatnya. Gaara menolak Hinata.
"Kau percaya padanya kan," Temari menatap adik iparnya, "aku tahu, aku mengenal adikku dengan baik. Dia hanya butuh waktu. Dia pasti akan kembali bersamamu dan Akira. Gaara pasti melakukan yang terbaik untuk semuanya."
Hinata percaya sepenuhnya pada Gaara. Dia tahu, Gaara tanpa kekuatan pasirnya akan tetap mampu melindungi orang-orang yang dia sayangi. Hanya saja, Hinata tak ingin kehilangan pria itu lagi. Sudah cukup sekali dia kehilangan Gaara. Sekarang Hinata tak ingin dan tak rela melepas pria itu meski hanya sebentar saja.
"Apa maksud kalian? Apa belum cukup dia melepas kedudukannya sebagai Kage. Dan sekarang kalian ingin melakukan hal itu?" Kankuro tidak habis pikir. Apa yang ada diisi setiap kepala para tetua yang sudah bau pasir gurun itu. Mereka meminta untuk Gaara meninggalkan Suna dan hidup dipengasingan. Karna Gaara hanyalah sebuah aib bagi desa Suna.
"Aku akan melakukannya." Gaara berkata datar. Emosinya tak nampak meski hanya sedikit.
"Aku tidak setuju. Peraturan macam apa ini."
Gaara mendengus sinis, "maaf Hokage-sama, aku tidak butuh saranmu." Dia menatap tepat dibola mata pria bergelar Hokage itu.
"Gaara. Apa yang kau pikirkan? Apa kau tidak pernah memikirkan Hinata dan Akira? Bagaimana dengan perasaan mereka, kau selal..."
"Berhenti menasehatiku seolah-olah kau tahu semua tentang diriku, Hokage-sama." Gaara mengepalkan tangannya. Sudah menahan sejak tadi emosi yang hampir meletup itu. "Bukankah ini kesempatan mu untuk kembali mendapatkan Hinata? Apa kau pikir aku tidak tahu, hah."
"Cukup!!" Hentikan semua ini!" Kankuro menengahi pertengkaran pribadi antara kedua pria yang mencintai satu wanita beranak satu.
"Rapat ditutup."
Tidak ada yang membantah. Semua ke luar ruangan. Yang tersisa hanya kakak beradik itu.
"Gaara."
"Tinggalkan aku sendiri."
"Pikirkan baik-baik. Aku akan mengurus semua kekacauan ini. Hinata dan Akira adalah prioritas mu. Jangan lupakan tanggung jawab dan janjimu sebagai seorang suami dan ayah."
Malam di Suna memang lebih dingin. Sekalipun dia tak pernah diguyur hujan seperti Ame namun Suna tetap memiliki persedian air yang memadai. Gaara termenung dalam keremangan malam. Mencoba membuat sebuah jalur agar mencapai jalan tanpa harus memutar arah atau melalui jalan pintas. Gaara ingin melalui jalan utama. Sepasang lengan memeluknya dari belakang. Meskipun sudah bertahun-tahun tak merasakan pelukkan ini, namun Gaara masih sangat mengenal siapa pemiliknya.
"Gaara-kun." Suara yang sangat Gaara rindukan itu. Gaara menelusuri setiap inci wajah wanita itu, masih tetap cantik meski sudah memiliki seorang putra. Jemarinya mengusap bibir wanita itu, bibir yang selalu Gaara rindukan selama ini. Dua insan itu saling melepas rasa rindu yang sudah menggunung sejak awal bertemu. Hanya saja kali ini si pria tak lagi merasa gengsi. Dia mengesampingkan ego demi rasa rindu yang sudah tak mampu dia tahan lagi.
Hinata enggan terpejam meski malam semakin larut. "Tidurlah, ini sudah malam."
Hinata menggeleng, "aku takut, takut jika ini hanya mimpi. Takut jika setelah aku menutup mata semuanya akan hilang. Takut jika..." Gaara mencium lembut bibir itu. Menegaskan bahwa tak akan terjadi hal yang ditakutkan wanitanya, "jangan takut, aku tidak akan pergi lagi. Jika aku pergi, aku akan membawamu dan Akira."
Hinata menangkup kedua sisi wajah Gaara, "aku merindukan mu," dia mengecup bibir Gaara, "sangat."
"Gaara-kun,"
"Hm."
"Arigatou."
"Untuk?" Hinata menunduk wajahnya, "malam ini."
"Trimakasih Hinata," jemari Gaara menelusuri wajah Hinata, "terimakasih sudah menungguku selama ini. Terimakasih sudah menjaga Akira dengan baik." Ada banyak trimakasih yang ingin Gaara ucapkan. Dan ribuan maaf yang membuat lidahnya kelu untuk berkata.
Hinata mengelus lengan Gaara. Pria itu tertidur sambil memeluknya dari belakang. Wajahnya memanas mengingat mereka baru saja saling melepas rindu dengan cara yang manis. Gaara memang melakukannya dengan pelan dan hati-hati. Hinata menutup matanya. Dia merasakan bibir Gaara di pundaknya mulai mengecup dengan pelan. Merasakan sesuatu di bawah sana mulai bergerak pelan membuat Hinata semakin memerah kedua pipinya.
"Jangan berbalik," suara Gaara serak, "biarkan seperti ini." Hinata menggigit bibirnya. Dia menahan sesuatu yang bergejolak keras hingga rasanya seluruh tubuhnya memanas. Hinata membiarkan Gaara memeluk semakin erat. Hinata menggeliat pelan. Gaara memang tidak bergerak dia hanya diam saja hanya membenamkan dirinya semakin dalam di dalam Hinata. Jemari Gaara begitu memanjakan Hinata.
"Hinata."
"Hm."
"Apa kau sedang dalam masa subur?" Suara Gaara terdengar serak.
"Hm."
"Baguslah. Aku harap Akira bisa memiliki adik."
*(((tbc)))*
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji
FanfictionTidak ada yang bisa menebak alur sebuah kehidupan seorang ninja dalam dunia shinobi. Takdir mempermainkan mereka dalam sebuah ikatan suci bernama pernikahan berdasarkan perjanjian antar desa. Naruto Disclaimer : Masashi Kishimoto