Janji ch 9

1K 110 5
                                    










"Belum ada pergerakan yang berarti."

Naruto menghela napas frustasi, bagaimanapun mereka sudah menghabiskan waktu hampir sebulan di Suna, namun belum membuahkan hasil sama sekali. Shikamaru berulang kali membaca dan mencermati laporan misi dari para ninja Suna yang menjadi partner mereka dalam menjalankan misi. Tapi, hasilnya nihil. Kejeniusan sang tunggal Nara seolah-olah menjadi omong kosong belaka. Shikamaru tak pernah gagal dalam menyusun strategi apa pun seluruh dunia shinobi mengakui kemampuannya.

"Shika."

Shikamaru menoleh, Ino berdiri di depan ruangan penginapan mereka. Satu alisnya terangkat, "ada apa?"

"Temari... dia..."

"Ada apa dengan Temari?"

Shikamaru mulai mencurigai hal buruk menimpa tunangannya, "Ino. Katakan, ada apa dengan Temari?" Dia mulai meninggikan suaranya.

"Dia di rumah sakit."

Tidak butuh waktu lama, Shikamaru dan yang lainnya sudah berdiri di depan pintu operasi. Perasaannya tidak karuan, dia berharap tidak ada hal buruk menimpa tunangannya.

"Apa yang terjadi dengannya, Gaara?"

Bukan tidak menghargai Gaara sebagai Kazekage, tapi keadaan lah yang membuat Shikamaru melupakan semua tata krama itu. Gaara menunduk, mengepalkan tangannya erat. Sungguh dia merasa menjadi adik yang tidak berguna, bagaimana bisa Temari lah yang melindunginya saat seharusnya dia yang melindungi kakaknya, Temari.

"Dia melindungiku." Suaranya pelan, terdengar perih ditelinga Shikamaru.

Shikamaru tersenyum sinis, "dimana kejadiannya?"

"Dekat gerbang sebelah utara."

Tanpa menunggu lama Shikamaru menuju lokasi kejadian, ada benerapa ninja tingkat jounin dan anbu mulai berjaga dan menstrilkan tempat itu. Semua memberi hormat padanya, namun tak satupun dibalasnya. Dia berjalan menuju tempat yang telah ditandai dengan benang chakra. Mata hitamnya mengamati dengan jelas area pertarungan yang hampir mencabut nyawa tunangannya.

"Shikamaru-sama, anda tidak diperkenankan masuk..." Perkataan jounin itu terhenti, Shikamaru menatap tajam seolah-olah ingin membunuh lewat tatapannya.

"Kau tau siapa aku?"

Pria itu mundur membiarkan Shikamaru memasuki lingkaran itu.

"Sial! Bisa ketahuan."

Shikamaru tak pernah menduga, dirinya benar-benar ingin membunuh penghianat itu.

"Brengsek! Akan ku buat dia menyesal melakukan semua ini." Shikamaru berjongkok, dia menyentuh darah segar yang telah mengering dan berubah menjadi biru. Itu racun.

"Temari." Tanpa sadar dia menyebut nama gadis itu, sekarang dia tengah berjuang antara hidup dan mati. Shikamaru menyesal, seharusnya dia tidak mengijinkan Temari ikut dengan Gaara, pada hal Gaara sendiri tidak keberatan jika Temari tak pergi dengannya. Hanya saja gadis itu bersikeras, dia juga sangat menyayangi adik bungsunya.

Kankuro berdiri di sisi tempat tidur Temari belum ada tanda-tanda gadis itu akan sadar.

"Gaara, pulanglah. Hinata menunggumu di rumah."

Gaara menggengam tangan kakak perempuannya, "aku akan menjaganya."

"Gaara, ingat! Hinata sedang hamil, dia juga membutuhkanmu."

"Ini semua salahku. Seharusnya aku tidak lengah."

Kankuro menatap sendu sang adik, "aku juga akan melakukan hal yang sama dengan Temari, kami tidak akan membiarkan nyawamu dalam bahaya."

Gaara memandang Kankuro, satu bulir air matanya jatuh saat itu juga. Sebegitu berartikah dirinya sehingga mereka rela kehilangan nyawa demi dia.

"Aku...."

"Kau segalanya bagi kami Gaara."

Kankuro segera berpaling, dia enggan membiarkan Gaara melihat wajahnya yang telah basah dengan air mata. Baginya dan Temari, Gaara adalah alasan mengapa mereka berusaha menjadi lebih kuat lagi. Bukan semata-mata ingin dikagumi atau ditakuti oleh orang lain. Bukan itu. Melainkan mereka ingin melindungi Gaara.

"Aku akan pulang. Beri tau aku jika ada perkembangan." Gaara berdiri, dia menatap Temari hampir seluruh tubuhnya dipenuhi alat-alat medis.

Kankuro mengangguk, "akan ku kabari, jika dia sudah sadar."

Langit Suna sangat indah dimalam hari, suhunya pun berbanding terbalik dengan keadaan disiang hari. Jika siang sangat panas, maka malam harinya sangat dingin.

"Lain kali, bergeraklah dengan lebih hati-hati!" Pria itu menatap tajam bawahannya, "satu kesalahan lagi, nyawa kita semua akan hilang."

Mereka mengganguk, tak ada yang bersuara. Seolah takut rumput dan angin akan mendengar mereka.

"Mulai besok, jangan ada yang bergerak tanpa perintah!"

Selimut tebal menutupi seluruh tubuhnya, dia bergelung nyaman tanpa tau bahaya yang sedang mengincarnya.
Gaara mengecup pelipis Hinata, wanita yang sedang mengandung masa depannya, juga masa depan Suna. Pergerakan kecil jemari Gaara pada perutnya membangunkan Hinata.

"Gaara-kun, kau sudah pulang?" Matanya masih setengah terpejam, bahkan suaranya pun terdengar serak. Dia merapat pada Gaara, mencari kehangatan dari pelukan pria gurun itu.

"Maaf membangunkanmu." Gaara mengelus sayang rambut panjang Hinata. Dia tersenyum kecil, saat deru napas wanita itu terdengar teratur. Tangannya kembali meraba perut rata Hinata, darah dagingnya tumbuh sehat dalam rahim wanita Sabaku itu. Sudah berusia dua minggu usia kandungan Hinata. Akhirnya keinginan Gaara dan Hinata terkabul. Dia mengingat betul bagaimana dirinya terbangun di pagi buta hanya untuk muntah-muntah hingga siang menjelang. Morning sickness memang menyiksa. Tapi Gaara bersyukur, setidaknya Hinata tidak menanggung semua itu sendiri.




































***((bersambung))***














JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang