Janji ch 10

980 101 14
                                    










"Sebaiknya kau beristirahat, Shikamaru!" Suara Kankuro membuat Shikamaru menoleh, "aku akan tetap disini sampai dia sadar."

Kankuro sudah menduga jawaban itu akan keluar dari mulutnya, tapi hal itu membuatnya mendengus marah.

"Temari tidak akan senang jika melihatmu ikut sakit juga," dia berjalan menuju pintu, "jika kau mencintainya, seharusnya kau paham akan hal itu."

Blam...

Shikamaru hanya bisa menghela napas berulang kali, baginya istrihat disaat seperti ini akan membuatnya gila. Bagaima mungkin dia tidur nyenyak sementara gadis yang dicintainya masih belum sadarkan diri. Senyum culas terukir dibibirnya. "Tunggu saja, sampai aku benar-benar membunuhmu dengan tanganku sendiri." Shikamaru sadar, orang yang selama ini mereka cari ada di sekitar mereka. Hanya butuh sedikit lagi baginya untuk membuktikan hal itu, dia tidak boleh gegabah. Dia mengelus pipi Temari yang terasa dingin, "aku mohon buka matamu."

Dalam keheningan, Shikamaru menangis. Dia membayangkan saat dirinya harus kehilangan Asuma, kemudian kehilangan ayahnya saat perang dunia ninja melawan Madara. Air matanya semakin deras, rasa takut itu datang dia takut kehilangan Temari. Jika hal itu terjadi dia akan ikut mati juga. Baginya Temari sudah seperti napasnya, dia tidak akan sanggup bertahan tanpa gadis yang sebentar lagi menyandang gelar nyonya Nara Shikamaru.

"Aku mohon... aku janji tidak akan cengeng lagi, aku tidak akan mengeluh merepotkan lagi... Temari... buka matamu." Dia mengecup berulang kali punggung tangan Temari. Ada rasa perih saat gadis itu hanya diam saja tanpa membalas perkataannya.

"Gaara. Sebentar lagi batas misi mereka akan habis. Apa yang harus kita lakukan?" Kankuro menatap datar jendela kaca gedung Kazekage. Terlihat jelas wajahnya sangat dipenuhi beban berat.

"Aku yang akan melakukannya sendiri." Gaara berdiri dari kursi kebesarannya, pria yang akan menjadi seorang ayah itu tengah dilanda ketakutan terbesar dalam hidupnya.

"Apa kau yakin?"

Gaara mengganguk, "ini sudah menjadi kewajibanku, aku sudah siap untuk itu."

Kankuro tersenyum tipis, "kau semakin dewasa, Gaara" batin Kankuro.

Hinata melangkah dengan penuh senyum ramahnya, dia membalas setiap sapaan dari penduduk Suna padanya. Sementara kedua anbu dengan langkah pasti selalu mengawal dirinya setiap saat. Rantang kecil tengah berada dalam gengamannya, hari ini dia memutuskan untuk makan bersama dengan Gaara.

"Selamat datang, Hinata-sama." Baki lebih dulu menyapanya, pria yang pernah menjadi guru sang Kazekage itu memberi hormat pada orang penting di Suna itu.

"Baki-sensei, jangan seperti itu padaku!" Hinata sedikit salah tingkah, baginya Baki sudah seperti Kurenai-sensei, sudah dia anggap seperti gurunya sendiri.

Baki tersenyum ramah, baginya Hinata pantas mendapatkan hal itu.

"Anda ingin bertemu Kazekage-sama?"

Hinata sedikit mengangguk, dia malu semua ninja di koridor kantor Kazekage menatapnya tanpa henti.

"Iya. Aku ingin makan bersama dengan Gaara-kun."

Baki paham, "bagaimana kabar Sabaku junior?" Tatapannya mengarah pada perut Hinata yang masih rata.

"Dia baik." Hinata mengelus perutnya, aura kebahagian nampak sangat terasa hingga membuat seseorang tersenyum penuh arti.

Baki ikut mengantar Hinata hingga ke tempat Gaara. Dia mengetuk pelan pintu, kemudian dengan perlahan pintu terbuka menampilkan ninja yang baru selesai melapor pada Gaara.

"Silahkan masuk, Hinata-sama."

Gaara mengenggam tangan Hinata, perasaan bahagia terlihat jelas diwajah wanita itu.

"Makan yang banyak agar kau dan dia selalu sehat." Pria itu mengelus perut Hinata, sementara Hinata tengah sibuk menguyah makanannya. Jemarinya kadang naik membersihkan sisa makanan yang menempel pada bibir Hinata.

Gaara membuka mulutnya ketika satu suapan mengantri masuk pada mulutnya, "habiskan!" Gaara menuruti keinginan Hinata, ibu hamil memang banyak maunya.

"Kau mengantuk?"

"Hmm."

Gaara membiarkan Hinata tidur dalam pelukannya, semakin hari Hinata semakin manja padanya. Mungkin efek kehamilannya.

Pranggg...

Satu guci kaca itu terhempas di lantai, "lakukan apa pun untuk membawa penghianat itu ke hadapanku. Hidup atau mati. Aku tidak peduli."

Kemarahannya tidak pernah berada dipuncak tertinggi, jika tidak menghargai jasa-jasanya mungkin pria tua itu sudah mati ditangannya. Berulang kali dia mengatur napasnya agar emosi dapat terkontrol dengan baik.

"BRENGSEK!!!" Umpat Kankuro. Tidak pernah dia berkata kasar sebelumnya, tapi, kali ini kesabarannya sudah habis.

Kankuro masih duduk berjongkok di pinggir makam orang tuanya, sore terasa sangat cepat ketika dirinya masih setia memanjatkan do'a untuk ayah dan ibunya. Angin berhembus pelan, menerpa wajahnya. Sudah menjadi kebiasaannya untuk menghabiskan sorenya dengan mengeluarkan keluh kesahnya. Meskipun tak pernah ada jawaban, tapi, Kankuro tau jika mereka selalu mendengarkannya.

"Kankuro-sama."

Kankuro mendengarkan, tapi tubuhnya tak bisa merespon apa pun. "Anda masih terlalu lemah, untuk melakukan ini seorang diri." Samar-samar dia melihat seseorang yang dikenalinya berdiri tak jauh dari makam ayahnya. Pria itu tersenyum, tapi senyumnya penuh dengan kebencian.

"Kankuro. Kankuro. Kau mendengarkanku?"
























**(bersambung)**





JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang