"Kapan kau pulang, hmm?"
Jisoo menaikkan pandangannya pada Seokjin dihadapannya. Yang kini telah duduk pada kursi dihadapannya.
"Hmm, kurasa sekitar 3 jam yang lalu. Aku meninggalkan koperku di rumah dan langsung kemari karena merindukanmu." Ucapnya dan kini beranjak mendekat. Mencubit kedua pipi milik Seokjin.
"Ck, lepaskan." Ucapnya menepis kedua tangan milik Jisoo. Membuat gadis itu mendengus. "Sudah kukatakan jangan melakukan hal itu padaku."
Jisoo lagi-lagi mendecak. Memilih untuk duduk kembali pada tempat duduknya sembari menyeruput ice tea miliknya yang dibawakan sebelumnya oleh Seokjin.
"Bagaimana di Jepang? Menyenangkan?"
Jisoo menghela napasnya. "Hah, aku menyesal meminta dan merengek pada appa agar menyetujuiku ke Jepang."
Seokjin bisa melihat perubahan wajah Jisoo kini yang mulai tak membaik. Gadis itu bisa menutupinya dihadapan orang lain kesedihannya. Tapi tidak dengan pria itu.
"Ceritakan saja. Aku tak akan bicara pada siapapun."
Jisoo tersenyum. Inilah kenapa ia lebih suka menceritakan seluruh ceritanya pada pria itu. Karena dia lebih mengerti Jisoo dibandingkan kedua orangtuanya. Membuatnya nyaman dan percaya pada pria itu.
"Kau tahu bukan alasanku pergi ke Jepang karena apa? Bukan hanya karena aku ingin berkuliah disana saja. Tapi ada alasan lain."
"Hmm, aku tahu itu. Kau juga yang cerita padaku, kan?"
Jisoo kembali menghela napasnya. Menyiapkan dirinya jika saja ia tak sanggup untuk melanjutkan ceritanya.
"Kau tahu? Ucapanmu padaku saat itu benar. Dia benar-benar pria bajingan. Bahkan aku sengaja pergi ke Jepang hanya untuk mencarinya. Tapi apa yang kudapatkan setelah mengetahui keberadaannya?"
Seokjin tak menjawabnya. Hanya terus menatap pada Jisoo. Menyuruh gadis itu untuk melanjutkan ceritanya.
"Dia sudah menikah ketika aku bertemu dengannya tak sengaja. Dan saat aku menemuinya, dia bahkan menganggapku seolah aku adalah orang asing. Menyebalkan."
"Lalu, kau akan kembali menetap disini?"
"Tentu saja. Untuk apa aku di Jepang sana? Yang ada, aku ingin sekali datang kembali padanya lalu memukulnya dengan tongkat golf milik appa."
"Kuliahmu?"
"Ya, ini sudah abad 21. Aku bisa melakukannya walaupun aku di Korea."
Jisoo kembali menyeruput ice tea miliknya. Seolah melampiaskan amarah dan sedihnya saat ini. Lalu sebuah sapu tangan disodorkan padanya. Membuatnya melirik pada sang pemilik tangan yang tak lain adalah Seokjin.
"Aku tidak menangis."
Seokjin hanya menghela napasnya. Kini sedikit mendekat agar bisa meraih wajah Jisoo dan menghapus airmata gadis itu yang bahkan Jisoo tak tahu, kapan ia menangis.
"Jangan terus saja bersikap seolah kau kuat. Jika kau merasa kau ingin menangis, maka keluarkan saja. Terkadang, kita harus mengeluarkan airmata untuk menenangkan diri kita sendiri."
Jisoo tertegun. Bahkan dia kini masih diam disaat Seokjin terus saja menghapus airmatanya.
"Maafkan aku."
"Untuk apa?"
"Karena saat itu tak mendengarkanmu. Jika saja aku mendengarkanmu saat itu, mungkin aku tidak akan menjadi gadis bodoh seperti saat ini."
"Sudahlah." Lalu menjauh setelah memberikan sapu tangan miliknya pada Jisoo. "Lagipula, itu sudah berlalu. Pria banyak di luar sana dan kau bisa memilihnya. Kau kan cantik."
KAMU SEDANG MEMBACA
fool for love ❌ jinrose
Fanfiction[18+] ✔ Bodoh karena cinta? Bahkan untuk seorang pria yang sempurna seperti Kim Seokjin pun bisa merasakan bodoh karena cinta. ----- ©iamdhilaaa, 2018