🍁Chapter 18. Pengaruhnya

6.4K 317 8
                                    

"Sejak kapan kata-katanya mulai mempengaruhinya? Apakah aku memang sudah jatuh sedalam ini?"

*******

Los Angeles, 

Jennie menatap kosong pada langit-langit kamarnya. Merenung. Kapan? Kapan semua ini akan berakhir? Jujur, dia lelah. Ingin menyerah. Tak kuat lagi menghadapi semua ini. Lalu senyum miris terbit dibibirnya, dan setetes airmata tanpa sadar jatuh membasahi pipinya. Dia tak bisa. Tak akan pernah bisa.

Menghembuskan nafas panjang untuk meredakan rasa sesak didadanya. Setelah merasa agak tenang, Jennie bangkit dari atas tempat tidur bersama dengan selimut yang membungkus seluruh tubuhnya. Sembari meringis pelan, menahan rasa sakit yang hampir dirasakan disekujur tubuhnya, Jennie berjalan memasuki kamar mandi. Melepas selimut yang menutupi tubuh telanjangnya.  Memperlihatkan beberapa memar biru ditubuhnya yang seputih salju.

Berdiri di bawah shower, Jennie membasuh tubuhnya dengan air dingin. Mengusap-usapnya kasar, berharap dengan begitu jejak lelaki brengsek itu akan menghilang dari dirinya. Jennie mengusap tubuhnya dengan kasar, sangat kasar hingga jejak-jejak kemerahan menghiasi tubuhnya. Perempuan itu menghiraukan rasa sakitnya dan terus mengusap tubuhnya,  dalam fikirnya,  Jennie meratapi betapa kotornya dia. Sangat kotor. Menjijikkan!

Hingga akhirnya, ia jatuh terduduk bersandar pada dinding, memeluk lututnya dan terisak pelan. Dia menangis meratapi kehidupannya, meratapi betapa tak berdayanya ia. Dilain waktu, Jennie merasa ingin menjadi egois. Namun, pemikiran bahwa selama ini Allisia sudah sangat menderita membuatnya tetap bertahan. Karena semenjak dia tahu kebenaran dari peristiwa itu, Jennie merasa memegang tanggung jawab untuk melindunginya.

Cukup sekali Allisia menderita karena kehilangan orangtuanya,  dia tak bisa membiarkannya dijebak oleh lelaki brengsek berwajah dua itu.

Cukup dia saja yang akan menggantikannya....

*****

Karena diadakannya Rapat guru, Para siswa dan siswi diijikan untuk pulang lebih awal. Karena itu, pada pukul sebelas pagi, sekolah sudah mulai sepi. Banyak dari mereka telah pulang lebih awal untuk bersantai dirumah atau sekedar nongkrong diluar dari pada harus suntuk di sekolah.

Namun, disinilah Riana berada, terjebak di halte bus bersama Algino.
Laki-laki menyebalkan yang menunda kepulangannya. Padahal sejak tadi sopirnya sudah menunggunya.  Tetapi dia tak bisa pergi ke mobilnya jika Algino masih ada. Dia tak ingin lelaki itu menyadari bahwa ia bukanlah cewek cupu yang miskin seperti yang sering orang bicarakan tentangnya.

"Pergi. Jangan mengganggu saya." Entah sudah keberapa kalinya Riana mengucapkan kata-kata ini, namun Algino masih saja bergeming. Duduk di atas motornya sembari memainkan rubik ditangannya.

"Tidak, sampai lo setuju gue anter pulang." Algino juga kembali mengucapkan jawaban yang sama,  tak mengindahkan raut kekesalan Riana. Yang ada dalam fikirnya saat ini adalah bagaiamapun caranya dia harus mengantar Riana pulang hari ini dan mengetahui dimana rumahnya. Jika tidak, bagaimana pendekatananya akan berjalan lancar jika bahkan rumahnya saja dia tak tahu?.

"Sudah saya katakan juga,  saya tidak perlu diantar sama kamu. Pergi sana, kamu menghalangi angkutan yang lewat. " Kesal Riana. Lelaki itu benar-benar terlalu memaksa.

Algino hanya mengangkat bahunya acuh, kembali sibuk memutar-mutar rubik ditangannya. Namun, jika diperhatikan lebih jelas, ada senyum kecil dibibir Algino.

"Lo tuh kenapa gak ikut gue aja sih? Apa susahnya coba? Tinggal sebutin alamat lo doang terus gue yang antar,  gratis lagi." Algino berucap tak mengerti, saat melihat bahwa Riana masih keukeuh tak ingin diantarnya.

Fake Nerd#Wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang