🍁Chapter 24. Dia Kembali

2.7K 93 30
                                    

"Ada titik dimana kita harus mampu berdiri kokoh menghadapi masa lalu"

******

"Lo yakin gak mau gue temenin?" Entah sudah berapa kali pertanyaan itu terlontar dari bibir Chelsea. Riana bahkan lelah sendiri mendengarnya.

"Tidak perlu bertindak berlebihan, aku hanya akan pergi beberapa hari kemudian kembali lagi. " Riana berkata sambil berusaha melepas pegangan Chelsea dari kopernya. Penerbangannya sebentar lagi, namun gadis itu maih saja tak ingin melepas kopernya. Tidak membiarkannya pergi.

"Lepaskan, Chelsea. Pesawatku akan berangkat sebentar lagi." Riana dengan tegas berkata, menatap Chelsea tepat dimatanya yang alhasil membuat Chelsea mau tak mau melepaskan tangannya dari koper. Sampai saat ini, walau dapat dikatakan ia sudah akrab dengan Riana, Chelsea merasakan rasa takut tersendiri saat Riana menatap lurus kematanya dengan raut wajah seriusnya.

Sadar bahwa mungkin ia terlalu bereaksi berlebihan, Riana menghela nafas dan berkata, "Jangan khawatir, saya pasti akan kembali secepatnya. Saya janji akan membeli semua pesananmu itu."

"Yaudah lah, tapi lain kali lo harus ngajak gue, oke?"

Rianti hanya mengangguk sebagai balasan, Setelah mereka mengucapkan kata-kata perpisahan singkat dan saling berpelukan sebelum Rianti beranjak pergi diiringi Chelsea yang terus melambai di belakangnya.

Hati Riana agak merasa hangat. Ada satu lagi orang yang cukup tulus padanya.

Setelah mengantar Riana ke bandara, Chelsea langsung berangkat ke sekolah. Dalam fikirnya, dia sudah bisa membayangkan betapa membosankan hari-harinya tanpa Riana.

"Gue harap tuh anak cepet balik."

****
Setelah duduk berjam-jam di dalam pesawat, Riana akhirnya sampai di negara kelahirannya, negara yang menjadi saksi atas suka dan dukanya.
Keluar dari bandara, tatapan Riana berkeliaran sebelum terpaku pada seorang pria paruhbaya yang berdiri di depan sebuah mobil sedan berwarna hitam. Saat tatapan mereka bertemu, pria paruhbaya itu segera tersenyum dan berjalan ke arahnya.

"Selamat Sore Miss, selamat datang kembali di rumah." Sapanya sembari mengambil alih koper dari tangan Riana.

"Hai Paman Birr, Terima kasih." Riana tersenyum kecil kemudian melangkah menuju mobil sedan.

"Bagaimana kabar Grandma dan Grandpa, Paman Birr? Apakah selama ini mereka baik-baik saja?" Tanya Riana saat sopir pribadi keluarganya itu mulai menjalankan mobil keluar bandara.

"Mereka baik-baik saja, hanya saja terkadang keduanya terlihat agak kesepian semenjak Nona pergi." Paman Birr ingat pernah mendengar dari Bibi Icilia yang tak lain adalah istrinya bahwa Nyonya tua Fernandez sering terlihat murung dan bisa berada di kamar Riana selama berjam-jam.

"Apakah kembalinya Nona untuk sementara atau akan menetap kembali disini?" Akan bagus jika cucu satu-satunya keluarga Fernandez itu terus menetap. Setidaknya pasangan tua Fernandez tak akan merasa kesepian lagi. Lagi pula, kepergian Riana agak terasa ganjil untuk mereka.

"Saya hanya akan tinggal beberapa hari disini, saya akan kembali setelah hari peringatan kematian orangtua saya usai." Jawab Riana sembari memandang jalann kota Berlin yang tidak sepadat kota Jakarta. Untuk beberapa hal, Riana mulai merasa agak rindu dengan kota padat itu.

"Benarkah? Sayang sekali."

*****

Duduk menghadap cermin, Jenny menatap sosok yang tak lagi dikenalnya. Wajah pucat tak berwarna, rambut berantakan dengan tatapan kosong tak bernyawa. Dia bahkan hampir tak mengenali dirinya lagi.

Jika saja waktu bisa di ulang kembali, Jenny berharap kembali ke hari itu, hari dimana Mac Alexander hadir di hidup Allisia, hari dimana awal dari segala penderitaannya.

"Sampai kapan kau akan seperti itu?" Suara bariton dengan sarat akan ejekan terdengar dari belakang Jenny.

Seketika tatapan Jenny terpaku pada seorang lelaki yang bersandar di pintu kamarnya sembari menyilangkan tangan dengan senyum miring diwajahnya. Tampan. Jenny tak bisa memungkiri itu, mata biru dilengkapi dnegan alis yang tebal, bibir merahnya bahkan dengan begitu banyak rokok yang telah ia hisap, garis rahang yang semakin menonjolkan wajah rupawan dengan tubuh kekar yang menjadi impian setiap perempuan.

Lalu apa? Fisiknya yang sempurna tidak akan bisa menutupi fakta atas semua kekejaman yang selama ini dia lakukan. Binatang dengan tampang rupawan. Pikirnya.

"Bagaimana bisa anda dengan seenaknya masuk ke rumah saya Mr. Alexander?" Tanya Jenny dengan dingin, masih menatap melalui cermin. Enggan beranjak dari tempatnya dan berada dekat dengan pria itu.

"Berdasarkan hubungan diantara kita. Bukan kah itu cukup?" Alex melenggang masuk dan berdiri tepat di belakang Jenny. Dia mengulurkan tangan menyentuh pundak Jenny, "Sudah seminggu aku tidak melihatmu." Alex menunduk, mendekat ke telinga Jenny dan berbisik, "Aku merindukanmu." Alex tersenyum miring melihat wajah kaku gadis di dalam cermin.

"Singkirkan tanganmu." Menggertakkan giginya, Jenny berusaha menyiningkirkan tangan menjijikan pria itu dari pundaknya. Gadis itu tidak bisa menahan perasaan merinding bahkan jika hanya sentuhan sekilas dari Alex.

Gambar-gambar menjijikan yang terlintas di kepala Jenny membuatnya merasa semakin rendah diri. Betapa kotornya dia.

"Hei ... Hushh... Tenang Baby..." Bukannya melepaskan, Alex lantas memeluk tubuh kecil nan mungil Jenny dengan erat.

"Lepaskan brengsek! Kau sudah berjanji untuk tidak menggangguku selama sebulan!" Bentak Jenny, buku-buku jarinya telah memutih namun ia masoh tetap tidak bisa menghilangkan tangan Alex dari tubuhnya.

"Bukankah aku sudah menepatinya? Apakah seminggu ini aku pernah menyentuh mu?" Alex mengangkat alisnya, "Oh, aku merasa sedih karena pengorbananku benar-benar tidak dihargai. Padahal setiap malam aku telah menahan perasaan rindu untuk menyentuh-"

"Hentikan!" Dia tak mau mendengar kalimat menjijikan dari pria itu. Demi tuhan, Jenny benar-benar tak tahu lagi harus melakukan apa untuk membuat pria ini menjauh darinya. Menghilang dari kehidupannya.

Alex merasa senang melihat bahwa Jenny tak lagi memberontak, walau pun tubuh dipelukamnya masih terasa kaku. "Sudah tenang?" Alex membalik tubuh Jenny untuk menghadapnya, kemudian ia menekuk kakinya berlulut dihadapan Jenny.

"Mengapa kau hanya diam?"

Jenny tak menjawab, ia hanya menatap lurus pada manik mata biru yang sering kali menenggelamkan orang di dalamnya. Jenny sudah seringkali mempertanyakan ini dibenaknya, mengapa pria dihadapamnya melakukan semua ini? Menjebak mereka dalam lingkaran setan yang hanya berisi penderitaan.

Jenny cukup yakin jika Alex tak pernah menyukainya, bahkan ia agak terkejut menemukan kebencian yang terpancar dari matanya saat menatapnya. Walau hanya sekilas sebelum tatapan pria itu kembali menatapnya dengan main-main seolah dia adalah lelucon terbesar dihidupnya.

Jika hanya karena tubuhnya, ada banyak perempuan diluar sana yang lebih baik darinya. Bahkan Jenny sendiri merasa kurang percaya diri dengan bentuk tubuhnya. Lagi pula, ada banyak perempuan diluar sana yang lebih mampu dan lebih berpengakalaman untuk memuaskan nafsu setan pria itu.

Lantas mengapa dia memilihnya? Mengapa dia harus begitu tega menghancurkannya sedemikian rupa? Ia telah kehilangan karrirnya, Kehilangan sahabatnya dan bahkan dirinya sendiri. Apalagi yang diinginkannya?

Apakah ada sesuatu yang telah dia lewatkan?

"Tidak masalah jika kau tidak ingin berbicara denganku. Aku kesini hanya ingin menyampaikan berita." Alex mengalah, tidak tahan dengan tatapan menyelidikinya. Lagi pula, dia punya tujuan besar datang menemui Jenny. Menyampaikan informasi yang akan membuat perempuan itu terkejut.

"Tunanganku kembali, bukankah kita harus mengunjunginya?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fake Nerd#Wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang