TSAALITSAH WA 'ISYRUUN

101 19 17
                                    

23. AWAL YANG BARU ATAU MASALAH BARU?

.

.

.

Dawon resmi dihukum mulai hari ini; pindah ke asrama tahfidz yang dikelola oleh adik dari abah. Perjalanan menghabiskan waktu nyaris satu jam dari pesantren hanya diisi keheningan di dalam mobil. Ibu berusaha mengajak Dawon berbicara—sebab pada dasarnya, ibunda Dawon memang tidak suka kesunyian. Namun apalah daya, putrinya semata wayangnya nampak sekali enggan menanggapi obrolan apapun bahkan hanya sekedar menjawab dengan gerakan.

Hanya satu bulan memang. Dawon hanya harus muroja'ah sambil tetap menuntaskan semua tugas-tugasnya sebagai santriwati kelas akhir. Yang menjadi masalah adalah Dawon ternyata sangat berat harus meninggalkan teman-temannya. Apalagi tadi melihat Sujeong, Solbin, Eunha, Luda dan yang lainnya menangis saat ia pamit. Sepanjang perjalanan, hanya teman-temannya yang Dawon ingat.

Tidak juga.

Banyak hal yang Dawon pikirkan sampai-sampai dia kesulitan tidur beberapa hari terakhir ini. Perasaan teman-teman--harga diri mereka sebagai santri akhir yang seharusnya menjadi teladan malah dinodai oleh kesalahan karena ego sesaat. Eunwoo yang pergi dan Dawon tidak tahu harus bagaimana dengan isi surat dari Eunwoo. Perjodohan dengan gus Minhyun.

Bahkan memikirkan untuk menikah pun belum tersirat sama sekali di benaknya. Lantas dia akan dijodohkan ayahnya begitu saja setelah lulus? Karya tulis saja belum tuntas, Amaliyah Tadris pun belum terlaksana, ditambah hukuman selama sebulan.

Gerbang pesantren tempatnya dihukum sudah di depan mata. Setelah sang ayah memarkirkan mobil lantas turun menyapa adiknya Abah, Dawon pun mengikuti di belakangnya. Diam. Mendengarkan apa yang dibicarakan ayahnya dan Kyai pun tidak. Kyai pun menyuruh santri-santrinya untuk membantu membawa barang-barang Dawon dan menunjukkan dimana letak kamar yang akan ditempatinya selama sebulan.

Setengah jam kemudian orangtua Dawon pamit. Ayah mencium kening Dawon sebagaimana biasanya, begitupun ibu—yang matanya turut berkaca. Dawon sedih, tapi airmatanya sudah habis. Dia sudah terlalu lelah jika disuruh menangis lagi meski ingin.

Setelah ayahnya pergi, Dawon kembal ke kamar berniat untuk membereskan barang-barangnya. Karena sudah seperti ini, Dawon tidak memiliki pilihan selain menjalaninya. Bayangan itu hitam. Dawon tak ingin terus membayangkan apa yang akan dihadapinya padahal semua itu masih gelap. Ia hanya harus mulai terbiasa menjalani perubahan drastis ini dan mulai menatap kembali semuanya agar bisa menjadi lebih baik dari semula.

Kecuali jika ia ingin memulai semuanya dengan masalah baru.

"Mba Dawon katanya calon istri Gus Minhyun, ya?" tanya salah satu santri yang tadi ikut membantu membawakan kopernya. Dawon belum sempat menanyakan namanya.

Dawon menoleh menghadap si penanya. Matanya mengerjap berkali-kali. Dalam hati bertanya bagaimana bisa 'ketidakpastian' itu sudah sampai di telinga orang yang jaraknya 1 jam perjalanan dari rumahnya?

"Entahlah ...." Dawon mengangkat bahu. Ia sendiri tidak tahu apa ia benar-benar sudah jadi calon istri atau masih bakal calon. Sudah mirip seperti pemilihan umum. Bedanya kalau pemilihan umum hanya untuk 5 tahun, kalau menikah untuk selamanya. Disebut calon ataupun bakal calon tentu rasanya berbeda.

"Kenapa? Mba Dawon kayaknya masih ragu gitu? Gus Minhyun itu kan cakep, Mba. Bersihan, rajin, pinter, ramah—"

"Aku lebih suka orang lain," potong Dawon buru-buru karena ia sadar jika tidak segera ia hentikan, gadis yang tidak ia ketahui identitasnya ini pasti akan semakin melantur ocehannya.

[[ASTRO x WJSN FF]] SANTRI (boleh) JATUH CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang