Saudara Sedarah.

83 4 0
                                    

     Dini hari yang berarti untuk Figo pribadi. Si pengagum hal kecil yang selalu saja terinspirasi dengan entengnya, namun hanya pola yang sama. Dia yang ia jauhi dan hindari malah menjadi penyelamat untuknya dan menjadi penjaganya.
Pagi telah datang, tak satupun yang tahu apa dan siapa yang akan hadir dalam skenario hari itu...

"Hari yang sama...", kata Andi Riztan.

Ia mengusap bola matanya... Menguap... Dan duduk sebentar untuk menyeimbangkan yang harus diseimbangkan.
Mengambil tasnya lalu berjalan menuju Figo.

"Dek, bangun.", sapanya.

Tapi Figo masih saja tidur dengan lelapnya. Ia menatap Figo sejenak... Melihat betapa kebodohan menguasai Figo.

"Kaka pulang dulu. Jangan jadi individu yang lemah, tetaplah kuat!", tegurnya.

***
"Tunggu! Satu jam lagi saya akan terbang menuju Sulawesi."
***

Suasana kelas Figo sama seperti seharusnya, menyenangkan walaupun ada duka... Karena sejatinya tak semua adalah keluarga dan sahabat. Sekelas hanyalah satu kelas.
Lain halnya yang dirasakan sahabat Figo. Walaupun sebelumnya mereka menempatkan kata benci untuk Figo, namun sekarang mereka merasa ada sebuah kesalahan menggunakan kata itu untuk hati mereka.

"Please, siapapun lo dan dimanapun lo! Putar waktu! Kembaliin waktu indah itu...", sedih Putri.

Melihat Putri yang nampak sedih dan duduk sendiri di taman depan kelas, Lusiana menghampirinya.

"Put, tau kok kamu sedih. Sedih itu hanya untuk kita, untuk kita yang bodoh!", kata Lusiana.
"Loh, kok bilang gitu... Sedih itu manusiawi, Lus! Jangan bikin keadaan semakin menjadi karena keangkuhan lo!", jengel Putri.

Lusiana menatap Putri sangat dalam...
"Put, lo pengen tau alasan gue ngatain bahwa sedih itu hanya untuk orang yang bodoh!? Logikain, Put! Imajinasiin... Orang tua kamu dan Figo. Saat ini orang tua lo nyakitin lo gak? Ngasih lo luka di tempat yang sama gak?", tanya Lusiana.
"Gaklah! Orang tua gue sayang ama gue, gue pun sebaliknya juga ke mereka...", jawab Putri.
"Nah! Terus Figo. Figo nyakitin lo, membuat luka yang berjiwa, ngecewain lo! Pantas gak lo bersikap biasa aja?", tanya kembali Lusiana.
"Gak! Gak, Lus!", kata Putri.
"Intinya kita hanya bersedih untuk orang yang bersikap bodoh ke kita. Pahamilah, gue tau logika lo gak murahan!", tegur Lusiana.

Sejenak Putri mencerna apa yang dikatakan Lusiana terhadapnya... Ia merasa 50% setuju dan selebihnya tidak.

"Lo ada benarnya juga, Lus! Kadang kita bisa bersikap semangatnya tethadap orang yang mencintai kita dan men-support diri kita ini! Dan juga bersikap sangat bodoh terhadap mereka yang berani menampar kita dengan luka yang berjiwa. Thanks, Lus!", kata Putri dalam hati.

Putri menatap balik Lusiana dengan mata yang berkaca...

"Thanks udah kasih pengertian untuk gue hari ini, Lus. Lo juga lemah hari ini, lo juga rapuh hari ini... Gue tau! Kita memiliki dan merasakan perasaan yang sama saat ini... Perasaan takut kehilangan Figo! Kita gak cinta sama dia, alasan kita hanya satu, dia adalah nyawa bagi kita!", kata Putri.

Lusiana tak bisa menahan tangis yang terbendung, lelah yang terpikul, amarah yang tertahan... Ia benar-benar meluapkan semua kekesalannya dalam bentuk tangis yang mendalam...

"Andai aja Figo gak kayak gini, Put! Gue juga pengen semua ini ter-rewind! Figo orang paling nyeselin yang pernah gue kenal! Gue sayang orang itu, Put! Pengen banget ngehajar dia pas ke mata!", kata Lusiana haru sambil cengar-cengir.
"Lo bebas ngelakuin apapun yang kamu suka... Tapi tunggu sembuhnya, tunggu sembuhnnya luka dan perasaan yang rapuh itu... Yakin aja dia bakal kembali walau semua tak bisa menerima siapa dia dan apa dia yang baru!", balas Putri.

saudara tak sedarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang