Author : Moonlight-1222
.
Ruangan itu berisi tempat tidur besi yang berbaris rapi dan di bagi menjadi dua sisi yang saling berhadapan. Selimut-selimut putih ditarik sampai ke dada dengan kepala bersandar di bantal masing-masing. Mereka tertidur nyaman sekali. Diana meninggalkan bingkai pintu. Sepatunya terayun pelan demi meminimalisir gangguan pada jalinan mimpi mereka.
Bersandar di bingkai pintu, Stephen tidak meninggalkan punggung Diana yang sudah duduk di sebuah kursi kayu di samping tempat tidur anak perempuan berambut cokelat. Tangannya terangkat untuk mengusap dahinya. Tatapan adiknya yang tenang dan penuh kasih itu tetap tak mampu menyembunyikan kesedihannya.
Tak lama dia berdiri dan melangkah ke luar. Stephen melihat birunya yang berkaca-kaca. "Kami permisi, Mrs. Collins, Ms. Taylor," suaranya tercekat saat berbicara dengan dua orang dari Vitus House itu. Dia menahan tangisnya.
"Terima kasih banyak atas kunjungannya, My Lord, My Lady. Saya, anak-anak dan semua pekerja di Vitus House sungguh berterima kasih atas kemurahan hati Lord Louvain."
Diana meraih tangan wanita tua itu dan menggenggamnya. "Saya--" Ia tercekat. "Saya akan sering datang kemari."
"Silahkan, Ma'am. Kami dan anak-anak sangat menantikannya."
Diana hanya mengangguk singkat.
Mereka meninggalkan koridor, menjauhi pintu-pintu kamar, menyusuri anak-anak tangga, dan Diana berhenti saat melihat sebuah taman di sampingnya. "Taman yang indah."
Mrs. Collins tersenyum. "Saya mengucapkan terima kasih mewakili Mr. Flinch, tukang kebun di Vitus House ini. Kami sangat tersanjung. Bila tidak keberatan, silahkan melihat-lihat." Wanita itu memahami bahwa sang lady sudah tidak dapat meneruskan pandangan kaleidoskopnya lagi. Pasti sesak sekali menahan tangis seperti itu.
Kedua wanita itu menghilang di balik pilar. Stephen mengiringi langkah Diana sampai ke sebuah kursi kayu. Mengambil duduk di sampingnya dan merentangkan tangan. "Kemarilah."
Air mata itu menderas saat Diana menjatuhkan tubuhnya ke dada bidang Stephen. "Kejam," mulainya dalam isaknya. "Dia begitu kecil. Begitu rapuh. Seharusnya-seharusnya kau melihatnya, Stev." Isaknya terus saja mengganggu. Suaranya putus-putus. "Rahangnya..., rahang-rahangnya menonjol keluar. Tirus sekali. Seperti tengkorak-seperti tengkorak."
Stephen mengusap-ngusap punggung Diana. "Tenanglah. Bocah malang itu sudah mendapatkan perawatan medis. Doakan saja kesembuhannya."
"Tapi-tapi tubuhnya, tubuhnya masih sangat menyedihkan." Ia terbatuk oleh isaknya.
"Semuanya membutuhkan proses, Dia. Tenang saja, pelakunya juga sudah menerima hukumannya."
Diana semakin tergugu. Tangannya mencengkram erat pakaian Stephen--siap membuatnya semakin kusut dan basah. Stephen tidak tega melihat tangisan Diana. Bagaimanapun juga alasan Diana mengunjungi Vitus House untuk meringankan kemelut hatinya. Sudah bukan rahasia lagi kalau Diana selalu mencari ketenangan dengan mengunjungi anak-anak di St. Rosvell setiap kali dirundung masalah. Tapi malangnya dia malah menambah dukanya ditempat ini.
Stephen melempar birunya pada langit malam yang bersih dari gemerlap para bintang. Mereka membiarkan bulan leluasa menebarkan cahayanya yang sepucat dan sedingin mayat. Kesedihan Diana membuat semua keindahan alam terlihat suram. Kemudian isak tangis itu menjadi sayup-sayup dan terdengar hanya sesekali. Adiknya sudah mulai tenang.
"Stev."
Sebuah 'hm?' diberikan Stephen.
"Aku sudah memikirkannya. Sudah cukup--sangat--lama. Tapi aku masih meragu karena aku masih tidak memiliki kebebasan untuk bepergian. Tapi kini semuanya sudah menjadi jelas setelah mendengar kata-kata mami," ucapan Diana sayu dan masih putus-putus akibat isaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diana Rosvell [END]
Historical Fiction[Historical Fiction - Mystery] There is hidden secret in her fairytale. Diana Rosvell merupakan segelintir dari kaum bangsawan yang tidak menyukai kehidupan dunianya karena hatinya yang sudah terpikat dalam kesederhanaan. Berbeda dengan Teressa dan...