XVII (a)

1.9K 324 70
                                    

Copyright : Moonlight-1222

Bagi yang lupa, ini adalah kelanjutan dari scene prolog. Really sorry karena updatenya lama dan semoga tidak mengecewekan. Bab ini juga di bagi 2 karena masih belum selesai edit. Insya Allah bagian dua akan dipublish nanti atau besok.
Tekan vote sebelum baca/baca dulu baru vote. Makasih. Selamat  membaca :)

.
.
.

Napas yang teratur merupakan keajaiban dari kehidupan yang akan selalu Raphael kagumi. Matanya terus memperhatikan dada Diana yang naik-turun dan menyesap setiap udara yang dihirup olehnya dengan khidmat. Sebuah tanda bahwa dia hidup. Kini tanggung jawabnya bukan hanya sang ibu, tapi juga Viviane dan Diana. Dan mungkin sebentar lagi untuk anak-anaknya bersama Diana.

Bayangan itu sangat melegakan. Sorot mata Raphael memang tidak dipenuhi binar-binar kebahagiaan, tapi sentuhan lembutnya pada tiap-tiap helai pirang Diana---yang menyebar di permukaan bantal---sudah lebih dari cukup untuk mengungkapkan perasaannya. Tapi gerakan itu lantas terhenti ketika kelopak mata Diana terbuka cepat dan memperlihatkan sepasang biru yang melotot. Diana yang terbangun ketakutan tentu tidak menyadari kehadiran Raphael yang duduk di samping tempat tidur---karena kegelapan yang menabrak retina gadis itu sudah membuatnya terjebak dalam kebutaan.

“To-tolong!” Diana langsung histeris bersama napas memburu. “TOLONG!” Terburu-buru menggapai sekitarnya dan menemukan kulit jemarinya tidak menyentuh permukaan batu yang dingin, melainkan kain halus yang hangat. Seketika ekspresi panik, tegang, dan ketakutan yang bersatu di wajahnya memudar. Terduduk lemas penuh kelegaan saat bersandar pada kepala ranjang.

“Hanya mimpi...,” gumamnya sambil menyentuh dahinya yang berpeluh. Sungguh menyulitkan..., batinnya miris. Bahkan mimpinya masih mengejarnya ke alam nyata. Seolah memang sudah tidak ada lagi ketenangan dalam hidupnya. Aku mulai kesulitan membedakan mana hal palsu dan nyata. Sepertinya penyakitku sudah bertambah parah.

Kemudian kilasan mimpi buruk itu menjelma nyata di pelupuk matanya. Ia berada di hadapan sebuah kastel berhiaskan batu mulia yang suram. Bangunan yang hanya terlihat indah dari luar, karena ternyata di baliknya menyimpan kegelapan. Hanya sebuah keindahan palsu yang mengerikan. Tapi sayangnya ia tidak mengingatnya secara detil karena mimpi lain langsung menumpuknya.

Dan itu sangat menyeramkan.

Ia terbangun di lantai batu dengan kaki yang dirantai. Bahkan ia masih bisa merasakan sensasi dingin yang ditimbulkan dari dua gelang besi yang menjerat pergelangan kakinya. Mengerikan. Di dalam mimpi itu penculiknya adalah Wilford. Tubuhnya semakin meremang karena hal itu terasa sangat nyata. Bahkan tatapan dingin pria itu masih menjeratnya. Dia seakan tidak memiliki perasaan apapun, seolah tubuhnya hanyalah cangkang tanpa jiwa.

Apa kau benar-benar tidak bisa mengingat pria yang tiga minggu lalu kau patahkan hatinya, Lady Diana?"

Kau sudah menghancurkan jiwa Raphael yang kubangun hanya untukmu dan memilih untuk melihatku bertindak sebagai iblis. Tahu begitu aku tidak perlu berusaha menjadi malaikat terhormat untuk mendapatkanmu, Diana.”

Kau dengan tanpa hati merusak semuanya. Jadi sudah merupakan tanggung jawabmu untuk menenangkan iblis ini.”

Ini bukan masalah harga diri, Diana-ku. Ini masalah hatiku yang yang telah dicuri. Aku tidak bisa hidup tanpa hatiku, kau tahu. Tolong..., tolong jangan tinggalkan aku.”

Maafkan aku, bidadariku. Maafkan aku karena tidak dari dulu membuatmu seperti ini. Dengan begini kau akan selamanya berada di sisiku. Mencobalah pergi dariku, maka akan kupatahkan sayapmu agar kau tidak dapat terbang meninggalkanku. Atau bila nanti kau memang berhasil pergi, pada akhirnya aku akan tetap dapat menemukanmu. Kau tahu itu, kan?”

Diana Rosvell [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang