XIV

2.1K 335 15
                                    

Copyright: Moonlight-1222

Baca dulu baru vote atau vote dulu baru baca :)

.
.
.

Memeluk dua buku tebal, Diana memperhatikan sosok tinggi Logan yang sedang menggapai sebuah buku. Birunya berbinar-binar memperhatikan figur sahabat kecilnya itu: rambut hitam yang sedikit ikal, berpadu lekuk wajah indah, dan kulit eksotis akibat seringnya terpapar sinar matahari di tubuh yang kuat. Dari kecil hingga sedewasa ini, Logan selalu mampu membuatnya mabuk kepayang.

Diana biasa meminta bantuan Logan untuk mengambilkan buku di rak tertinggi--yang sebenarnya memang sengaja dilakukannya untuk mendekatkan diri dengan pria itu saat di Chester Hall secara diam-diam. Menurut Diana, berdua saja di perpustakaan tidak berbeda dengan kencan di taman bunga.

Bila sebagai pelaku kriminal, Diana sudah memiliki modus, motif, dan alibi.

"Ini." Logan mengangsurkan buku tebal yang diminta Diana.

Tersenyum cerah dan tanpa ditutup-tutupi. "Terima kasih" Diana meletakkan ketiga buku tebal itu--yang sebenarnya sudah selesai dibacanya--di meja.

"Diana, ada banyak pelayan di rumah ini. Apa kau masih harus memintaku setiap kali ada buku yang sulit dijangkau olehmu?" tanya Logan pelan dan berjarak.

Diana tertegun atas protes Logan yang tiba-tiba. "Apa selama ini kau merasa keberatan?"

Ditatap dengan biru sesendu mendung, Logan tentu saja tak dapat berkata iya, meski pada dasarnya dirinya memang tidak keberatan sama sekali dengan permintaan Diana. Tapi... "Baiklah. Baiklah, maafkan aku. Jadi, apa masih ada lagi?"

Diana menggeleng lemah dan mengembalikan senyum di wajahnya, sebelum memberanikan diri meraih tangan Logan yang seketika menjadi kikuk. Keduanya sama-sama tidak mengenakan sarung tangan, tapi Diana tidak perduli. Halus telapak tangannya saat bergesekan dengan kulit pria itu yang kasar membuat hatinya menghangat--bersama semua kesedihannya yang mencair.

Ia selalu ingin menggenggamnya, tapi kesempatan itu tak kunjung datang lagi setelah mereka beranjak remaja.

Diana menuntun Logan dan memintanya duduk di couch yang menghadap jendela. Tindakannya ini cukup agresif untuk seorang gadis, terlebih lagi untuk dirinya yang biasa bersikap pasif--jantungnya bahkan seperti hendak meledak. Tapi ini adalah satu-satunya kesempatannya, bila tidak bertindak cepat, maka ia harus menunggu musim season selesai.

"Ini blueberry pie. Aku baru saja membuatnya." Ia mengangsurkan piring perak besar yang berisi seloyang pie dan mulai memotongnya hati-hati.

Logan tersenyum canggung saat menerima piring berisi potongan pie buatan tangan Diana, sama canggungnya saat menggigitnya. "I-ini lezat sekali," komentarnya antusias. Rasa manis yang meleleh di lidahnya membuatnya sedikit rileks.

"Benarkah?" Biru Diana membesar. Menatap Logan penuh harap.

Logan mengangguk tanpa kebohongan. "Tentu saja. Kau sudah semakin pintar memasak, Dia."

Senyum puas menghiasi wajah cantik Diana. "Semuanya itu untukmu."

"Ta-tapi--"

"Kenapa tapi? Ini kan bukan kali pertama aku memasak untukmu."

Logan terdiam.

Ekspresi Diana berubah masam "Kau bilang masakanku lezat."

"Te-tentu saja semua masakanmu sangat lezat, Dia. Terima kasih karena sudah memintaku menjadi orang pertama yang merasakan masakan tanganmu. Itu suatu kehormatan bagiku."

Diana Rosvell [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang