II

4.6K 565 22
                                    

Written :Moonlight-1222
Story : Moonlight-1222

***

London, Inggris

Gaun merah hati pucat bersulam benang emas dan merah, ruffles di kedua sisi serta manik-manik menghiasi sekeliling rok lebar yang membalut tubuh semampai Teressa, berpadu dengan kerah bertha penuh renda dan butir-butir mutiara yang menampilkan bahu putih mulusnya, sementara bros mawar merah besar tersemat di tengahnya; melengkapi keindahan gaun tersebut.

Sempurna! Semua orang di toko itu berdecak kagum melihat penampilan Teressa. Pujian tak henti-hentinya diucapkan, kian membesarkan kepercayaan diri Teressa. Sang marchioness tersenyum bangga melihat betapa bersinarnya Teressa. Itu merupakan gaun keenam yang dicoba oleh Teressa dan sudah tidak diragukan lagi akan menjadi gaun keenam yang diambilnya juga.

Diana yang tengah sibuk membaca tersentak saat bukunya ditarik dari pandangnya. Lady Louvain tersenyum seraya menyembunyikan bukunya di balik punggungnya lalu menunjuk sebuah gaun senada dan serumit milik Teressa. Diana mencari-cari Anastasia karena seharusnya setelah Teressa adalah giliran sang adik. Ia tersenyum masam melihat Anastasia yang ternyata sudah selesai mencoba gaunnya dan mendapatkan sambutan yang sama meriah dengan Teressa.

Anastasia memang tidak seperti Teressa, tapi juga tidak menolak seperti Diana. Adiknya yang satu itu memang tidak banyak membantu. Kenapa pula ia harus ikut-ikutan berada di tempat ini? Mereka baru saja sampai di London, dirinya membutuhkan istirahat, bukannya terjebak di toko perancang busana seperti ini. Marchioness of Louvain memang suka memaksa, bila tak dituruti maka siapkan telinga untuk mendengarkan kisah sedih tentang seorang ibu malang yang diabaikan oleh putri-putrinya.

Berbeda dengan kedua adiknya yang mengenakan gaun cerah: merah muda dan biru, ia memilih tampil dengan gaun kelabu suramnya yang minim renda dan pita--nyaris polos. Dan, sekarang sang marchioness malah memintanya untuk mencoba gaun merah muda, oh tolonglah, ia benar-benar sudah muak untuk memenuhi lemarinya dengan gaun tak terpakai.

"Diana, gaun itu untuk pesta dansa di Witton House besok. Lady Wilford secara spesial mengundangmu. Mami tak sempat memberikan hadiah yang dikirimkannya dua hari yang lalu karena Teressa yang selalu mengikuti mami. Kau tahu hadiah apa yang diberikannya untukmu?"

Diana memutar bola matanya bosan, membuat sang marchioness gemas hendak mencubit pipinya. "Dia memberikanmu kalung scarlet yang dipesannya dari India. Bentuknya sangat elegan, rantai emasnya dihias dengan berlian putih, dipadu dengan sebuah berlian merah hati, dan tiga rubi yang sangat indah dengan salah satunya yang berukuran besar." Sepasang biru sang marchioness berbinar-binar penuh semangat. "Kau pasti akan langsung jatuh cinta saat melihatnya."

"Mami, sebenarnya di hadiah itu pasti tertulis untuk Teressa atau Anastasia. Mami tidak perlu mengalihkannya pada Diana hanya karena Diana putri tertua. Lady Wilford pasti akan kecewa."

Marchioness of Louvain terdiam, hendak menjawab saat Diana beranjak dari duduknya, pergi ke ruang ganti bersama dua orang pegawai toko. Ia menghela napas pelan. Memang benar hadiah itu untuk Teressa, nama putri keduanya itu tertera di suratnya. Siapa yang tidak mengenal Teressa, sang debutan terkenal yang akan menjadi bidadari dalam Season ini--bersama Anastasia, tentunya. Anggun, ceria, percaya diri dan penuh semangat. Semua orang langsung menyukainya. Berbeda dengan Diana, dia memang berhasil menjadi debutan yang menarik perhatian, tapi semua pesonanya seolah buyar saat tak ada satupun senyum yang menghiasi wajahnya. Air mukanya sekeras marmer dan sedingin es.

Kemudian tidak berhenti disitu saja, alih-alih memiliki kartu dansa, season pertama Diana pun gagal karena ia lebih memilih untuk duduk di kursi para perawan tua lengkap dengan ekspresi tak bersahabatnya, tak ayal para gentleman yang semula tertarik hendak mengajaknya berdansa terpaksa menarik diri. Tragisnya, kelakuan nyeleneh itu terus berlanjut pada season-season selanjutnya, membuat dirinya mulai diabaikan orang-orang. Para rekannya di kursi perawan tua bahkan enggan untuk bertukar sapa dengannya akibat kebekuan yang melingkupinya.

Diana Rosvell [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang