XIX (19)

2.2K 405 37
                                    

Copyright : Moonlight-1222

Saya seneng lihat viewers yang banyak, tapi votes kalian bagai bahan bakar semangat saya :)

Bila berkenan silahkan follow Moonlight-1222 dan baca cerita yang lain juga. Makasih.

.
.
.

Saat Raphael menjanjikan sebuah perjalanan ke Chester Hall, Diana sudah berpikir kalau mereka akan pergi bersama Viviane dan Lady Wilford. Alih-alih menjelma nyata, pria itu malah membawanya pergi diam-diam. Kini ia harus bertahan dengan kebutaan saat menyusuri ruangan Axton Hall yang gelap dengan Raphael yang menggenggam tangannya. Ia tidak mempertanyakan kemampuan mata Raphael yang bisa beradaptasi dengan gelap. Memangnya setelah menyaksikan seseorang yang sudah mati terpenggal kini hidup kembali masih bisa membuatnya merisaukan hal kecil seperti itu?

Selanjutnya Diana masih harus bertahan dengan hawa dingin sang fajar di antara aroma jerami, kuda, dan tainya. Mengendap-ngendap ke istal sambil mengenakan jubah katun, penampilan mereka tidak ubahnya seperti pencuri. "Apa kau gila?" Diana jelas protes ketika Raphael hanya membawa seekor kuda. Sebenarnya bukan masalah si kuda, tapi Raphael yang memintanya duduk seperti pria. Bahkan saat mengenakan pakaian berkuda saja, Diana masih harus duduk menyamping. Apa Raphael berniat mempermalukannya?

"Seharusnya kau memberiku pakaianmu kalau ingin memintaku duduk sepertimu."

"Maafkan aku," timpal Raphael pelan. Ia lupa kalau perempuan dan pria berbeda. Setelah membenarkan sadel, ia menyentuh pinggang ramping Diana dan sesaat tergerak untuk memeluknya. Tapi ia menahan diri, Diana menerima sentuhannya pasti berpikir sedang dibantu naik ke punggung kuda. Perempuan yang memakai gaun dan tanpa pijakan jelas tidak bisa melakukan hal itu.

"Perjalanan kita ke Peckforton memang hanya sekitar dua puluh menit, tapi waktunya cukup untuk mengistirahatkan matamu." Raphael melompat naik dan menarik tali kekang, sementara salah satu tangannya memeluk pinggang Diana yang langsung dilepaskannya.

"Saya tidak akan jatuh, My Lord. Anda hanya harus fokus dengan tali kekang saja."

"Aku akan membangunkanmu nanti." Raphael berusaha untuk tidak terganggu dengan penolakan itu dan langsung menghentak kudanya.

Astaga! Diana merasakan sekujur tubuhnya mengkerut. Angin fajar yang dingin menampar wajah dan membuat ngilu semua sendinya. Bahkan telinga dan lehernya seperti habis disapu es.

"Kau belum tidur? Tidurlah. Matamu tampak lelah."

Diana tidak menjawab. Hanya menggerutu dalam hati karena mustahil bisa terlelap di medan terjal seperti ini: bergoyang-goyang dan terlampau dingin. Bahkan kini wajahnya sudah seperti membeku, seolah habis mencuci muka di kolam es saja. Lagipula ulah siapa matanya menjadi lelah seperti ini. Ia mana bisa tidur dengan Raphael yang terus memeluk dan memandanginya. Rasanya seperti habis melalui malam terpanjang dalam hidup.

"Kenapa kita harus melakukan ini? Pagi nanti ibumu pasti sangat murka menyadari kepergian kita."

"Kau tidak perlu khawatir. Aku sudah menyelipkan surat untuknya."

Raphael memang ke luar pada tengah malam. Diana berniat mengikuti kalau saja pria itu tidak menguncinya. Sia-sia, ia memutuskan kembali berbaring dan menunggu fajar---setelah mendapati pintu balkon juga terkunci.

Diana Rosvell [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang